01: Adara Maharani

15.7K 1.9K 107
                                    

Senyum Adara Maharani tampak mengembang kala menyambut pengunjung yang datang ke warungnya. 

Ini adalah warung miliknya yang baru buka beberapa minggu lalu saat ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya. 

Warung sederhana yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Usaha ini sudah ia tekuni dari lima tahun lalu yang tentunya bukan dirinya sendiri yang mengurusnya karena ada Bu Siti yang menemaninya merantau ke kota lain hingga kembali lagi ke kota kelahirannya.

Bu Siti adalah orang yang mengasuh  Dara sejak kecil. Bu Siti sendiri hidup sebatang kara. Tidak mau menikah sejak dulu hingga sekarang dan Dara tidak mengerti alasan wanita paruh baya itu tidak mau menikah.

"Mau beli apa?" tanya Dara pada seorang wanita. Wanita tersebut merupakan tetangga baru Dara
semenjak ia memutuskan kembali ke kota kelahirannya agar bisa dekat dengan makam sang ayah.

"Mau beras lima liter dan gula setengah kilo,  ya, Dik Dara," ujar wanita itu pada Dara.

"Baik, Bu. Tunggu sebentar, ya. Saya timbang dulu."

Dara kemudian mulai memasukkan beras ke dalam plastik dan menaikkannya ke atas timbangan untuk melihat apakah sudah pas atau belum timbangannya.

Dara menunjuk timbangan agar si ibu percaya. Setelah itu ia memasukkan gula ke dalam plastik beras tersebut.

"Berapa totalnya?"

"Lima puluh tujuh ribu, Bu," jawab Dara sopan.  Gadis itu kemudian menerima uang selembar berwarna merah dan mengembalikan sisanya pada pembeli.

"Terima kasih," ucapnya tulus.

"Sama-sama,  Neng."

Dara tersenyum menatap uang di tangannya. Ia merasa bersyukur dengan respons tetangga yang begitu baik padanya sebagai pendatang baru.

Dara merasa bersyukur hingga detik ini hidupnya selalu diberi kemudahan.  Dara berhasil menyelesaikan pendidikan SMA-nya di sebuah kota kecil. Gadis itu juga sempat membeli rumah sederhana dengan uang tabungannya yang diberikan ayahnya saat beliau masih hidup.  Rumah di kota kecil tersebut sudah ia jual dan hasilnya ia beli rumah di kota besar ini.  Tentunya sekolah di sekolah negeri di kota kecil tersebut tidak membuat Dara harus merogoh kocek yang dalam untuk biaya sekolah.  Sementara  untuk makan dan sehari-hari, Dara mendapatkannya dari jualan. Di kota  kecil tersebut  Dara tak hanya menjual kebutuhan pokok, tapi juga sayur dan cabai.  Tentunya ia punya penghasilan dari sana.

"Neng Dara,  ini belanjaannya."   Bu Siti yang baru saja tiba langsung meletakkan kardus belanjaan yang baru ia beli di pasar. Wanita paruh baya itu kemudian duduk di kursi dalam warung sambil mengatur napasnya.

"Ya ampun, Ibu.  Aku udah pernah bilang kalau aku aja yang belanja.  Lihat, ibu jadi kelelahan,"  kata Dara. Gadis itu segera masuk ke dalam rumah yang menyatu dengan warung untuk mengambil minuman yang langsung ia berikan pada Bu Siti.

"Kaki neng 'kan lagi sakit. Nanti kalau kakinya sudah sembuh, enggak apa-apa neng yang jalan belanja."

Dara menghela napas kemudian mengangguk setuju. Kakinya memang dari terkilir  kemarin karena terjatuh dari kursi saat ia menyusun barang-barangnya di atas lemari. Saat ini saja kakinya masih terasa sakit dan tidak bisa bergerak bebas.

"Dara," panggil seseorang di luar warung.  Dara yang mendengar namanya di panggil segera melihat siapa yang memanggilnya.

Gadis itu kemudian tersenyum manis saat  Riki yang merupakan anak Pak RT berdiri di depan warung.

"Kak Riki?  Ada perlu apa,  Kak?"  tanya gadis 20 tahun tersebut.

Riki lebih tua satu tahun darinya. Pemuda itu bekerja sebagai guru honorer dan juga sedang kuliah di sebuah universitas swasta. Riki juga baik pada Dara sehingga membuat gadis itu nyaman berteman dengannya.

Riki tersenyum manis. Pemuda itu bertanya, "bagaimana kaki kamu?  Sudah mendingan?"

Dara tersenyum.  "Masih agak sakit,  Kak. Tapi,  sekarang udah lumayan bisa bergerak,"  sahutnya.

Riki tersenyum dan mengangguk mengerti. "Kalau sudah agak mendingan, rencananya kakak mau ajak kamu pergi,"  katanya pada Dara.

"Pergi ke mana?"

"Pasar malam. Baru buka beberapa hari lalu." Riki menjawab. "Bagaimana?"

"Aku lihat kondisiku dulu, ya,  Kak.  Soalnya enggak enak kalau jalan dengan kaki pincang." Dara meringis menatap Riki.

"Enggak masalah."

Obrolan mereka berlangsung singkat karena Riki harus pulang ke rumahnya. Katanya ada tamu yang datang berkunjung.

Sementara Dara mengistirahatkan tubuhnya dan Bu Siti bertugas menjaga warung. Dara memang merasa tidak enak badan beberapa waktu terakhir sehingga terkadang ia banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur.

Beberapa tahun belakangan Dara hidup tidak teratur seperti saat papanya masih hidup. Tubuhnya bahkan lebih kurus dari sebelumnya dan terkadang jatuh sakit karena imunnya yang lemah terhadap bakteri. Dara tidak pernah memeriksa kondisinya ke dokter karena menurutnya ia hanya sakit biasa dan bukan penyakit parah.

Senyum gadis itu mengembang. Pikiran dan tekadnya harus segera tercapai dalam menggapai setiap keinginannya. Keinginannya hanya satu dan tidak berlebihan. Yaitu, mencari uang sebanyak mungkin agar dirinya bisa hidup bahagia. Yeah,  hanya uang yang bisa membuatnya tersenyum.

Adara mulai memejamkan matanya dan larut dalam mimpi. Adara kembali memimpikan pria itu. Pria yang menyebabkan Adara bisa hidup mandiri. Pria yang menjadi penyebab perasaan Adara hancur berkeping-keping untuk pertama kalinya.

Pria yang sudah ia anggap sebagai mantan suaminya,  Juan Jendral Hariez.

Om Playboy itu suamiku {TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang