3- Payung Merah

106 15 9
                                    

Chang An.

Lee masih duduk di tepi ranjangnya. Tangannya mencengkram rambut sambil mengatur pernapasan.

"Siapa sebenarnya Chang An?"

Mimpi itu datang bukan untuk kali pertama. Sebelumnya ia juga pernah memimpikan seseorang tanpa diketahui wujudnya, memanggil nama Chang An. Seingatnya, ia tidak mengenal seseorang bernama Chang An, entah dalam dunia nyata, buku atau film. Tapi, suara yang didengarnya dalam mimpi sangat jelas menyebut nama Chang An.

Lee mencoba bangkit meski kepalanya masih sedikit terasa pusing. Jika ia menuruti sakit di kepalanya, tubuhnya hanya akan manja, ini bukan hal besar. Kakinya melangkah ke dapur mengambil air. Tenggorokannya terasa kering, mungkin dengan ia minum juga bisa menyegarkan pikirannya. Jika sudah begini, hanya satu orang yang akan ia ingat. Profesor Hwang.

Segala masalahnya selalu ia bicarakan pada Profesor Hwang. Dia tidak percaya pada satu orangpun, terlebih jika itu Moryoung. Temannya itu hanya bisa membuatnya semakin pusing, tidak menyelesaikan masalah.

Lee membawa gelasnya ke balkon. Setelah dua tegukan, gelasnya ia letakkan di meja kecil sampingnya. Hausnya hilang, lebih tepatnya telah tersingkir dari fokusnya. Matanya mengamati langit yang tertutup mendung tipis. Dadanya bergemuruh, hatinya mulai gelisah.

Akan memasuki musim hujan?

Dari empat musim yang dilalui setiap tahunnya, hanya musim hujanlah yang paling ia benci. Apalagi kalau bukan karena traumanya. Setiap kali hujan, dia selalu hilang kendali, tak bisa mengendalikan ketakutan yang ada dalam dirinya.

Bertahun-tahun mengikuti terapi Profesor Hwang, namun tak ada hasil yang memuaskan. Takdir seperti mengutuk dirinya. Trauma tak akan terjadi tanpa penyebab, bahkan tak pernah sekalipun dia mengalami insiden traumatis. Lebih dari 20 tahun Profesor Hwang dibuat keheranan dengan kasusnya. Sebelumnya tak pernah dia menjumpai kasus seperti yang terjadi pada dirinya. Tapi terlalu jahat jika Lee mengatakan terapi Profesor Hwang gagal, sudah cukup ada kemajuan meski berjalan sangat lambat. Sebelumnya, trauma muncul hanya dengan melihat angin kencang, mendung dan gerimis, dia akan merasa gelisah, ketakutan dan terancam. Tetapi sekarang, ketakutannya itu hanya muncul saat terjadi hujan deras dan guntur. Meski begitu, tetap saja sangat menjengkelkan, ia banyak kehilangan momen romantis dan menenangkan saat hujan.

🗡🗡🗡

Shin berjalan melewati lorong, menuju sebuah ruang pribadi yang selalu terkunci. Tangannya diam -ragu. Matanya menatap kayu bercat coklat tua seakan mengamati detail, namun nyatanya matanya kosong. Dia teringat sesuatu yang lebih penting daripada isi dari ruang pribadinya. Tangan Shin meremat kuat gagang pintu sebelum melepaskan dan kembali ke kamarnya.

Kamar utama mansion yang selama ini di tinggali Shin cukup luas, lebih luas dari kamar-kamar lain, dengan gaya vintage retro tentunya. Setibanya di kamar, mata Shin tak beralih dari peti kayu antik di samping meja riasnya. Penempatan yang tak sembarangan, jelas ada benda berharga di dalamnya.

Kaitan besi di bagian paling depan, di geser dengan telunjuknya pelan. Suara decitan terdengar tengah menggambarkan seberapa tua peti itu. Shin pun sudah tidak ingat umur peti kayu di depannya itu. Mungkin seribu atau sembilan ratus sekian sejak terakhir kali menggantinya. Berbeda dengan gulungan-gulungan kertas di dalamnya, yang lebih tua 400 tahun. Wah, menghitung usia barang-barang membuat Shin merasa telah tua, padahal wajahnya masih wajah 28 sampai 30 tahun.

Tanpa harus membuka satu per satu, Shin sudah hapal apa yang didalam gulungan-gulungannya. Ia sibuk satu per satu, dan diambilnya gulungan yang semula berada di paling bawah.

Kertas yang sudah usang itu dibuka pelan, sedikit demi sedikit menampilkan bekas sapuan tinta yang sudah tak sejelas dulu. Tinta-tinta itu berkumpul membentuk sebuah potret seorang wanita berjubah. Wanita itu adalah dirinya, saat cinta masih bermekar harum.

Legend of the HalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang