9- Suara Wanita

65 6 4
                                    

Lee terbujur di sofa panjang di kamar Gu. Setelah berdebat dan memaksa untuk tetap tinggal malam ini, akhirnya dengan sedikit terpaksa Gu mengijinkannya menginap. Walaupun hanya berakhir di atas sofa yang di tempatinya saat ini.

Tangan kirinya menjadi bantalan. Jari telunjunya yang bebas, mengetuk-ketuk tubuh sofa -tempat telapak tangan kanannya tergeletak. Sementara matanya, menatap langit-langit kamar yang polos dengan kombinasi warna krem dan coklat tua. Matanya bukan menilai seberapa pas perpaduan warnanya, ataupun seberapa nyaman warna itu di matanya. Jujur, bahkan pikirannya tak mempedulikan kemana ia harus menjatuhkan tatapannya. Itu berjalan secara otomatis dengan tingkat kenyamanan posisinya.

"Jadi, Si tudung merah, nyata dan masih hidup?" Gumamnya yang masih sulit percaya.

Selama pencarian ceritanya, tak ada sedikitpun terbesit dalam pikirannya bahwa sosok yang dianggap mayoritas orang sebagai sosok yang menakutkan itu, adalah nyata dan hidup. Ini bukan tujuannya. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa dia benar terkejut. Seakan sosok itu bangun dan keluar dari buku dongeng.

"Seberapa tua, dia?"

Imajinasi Lee seakan membeku, tak bisa membayangkan. Dia seperti mencari apel, namun kejatuhan durian. Lebih besar dan lezat, tapi berduri. Dia tidak tahu, apa tindakannya mencari kisah Si tudung merah sebenarnya, akan membawanya pada hal yang baik atau tidak. Ya, dia hanya berpikir, bagaimana jika si tudung merah itu tahu, dan marah lalu ingin menghabisinya?

Lee menatap ke arah ranjang, tempat dimana Gu terlelap dengan bibir sedikit tersenyum, mimpi indah.

"Biarkan dia yang bertanggung jawab." Diminta sebelum memiringkan tubuhnya, memunggungi Gu. Dan ia terlelap dalam mimpinya.

🗡🗡🗡

Hin menatap glassboard yang dia taruh di studionya. Lebih tepatnya, gambaran kasar peta yang baru saja ia bentuk dengan spidol hitam. Selama pencariannya beberapa hari, hasilnya nihil. Tidak ada perkembangan sama sekali. Seolah-olah, wanita itu hilang di telan oleh bumi. Padahal, terakhir kali ia berkeliling, ia sudah mencoba menunjukkan lukisan wajah wanita itu pada orang-orang.

Spidolnya ia ganti dengan warna biru, untuk memberikan tanda pada tempat-tempat yang sudah ia kunjungi. Lalu spidol merah untuk menandai tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi. Untuk daerah kota, sudah nyaris setiap titik ia putari. Hanya daerah-daerah luar kota yang belum pernah sama sekali, meski kemungkinan wanita itu tinggal di luar daerah kota juga ada. Tapi, ia pikir tidak sebanyak persentase di kota. Namun, kemungkinan sekecil apapun, tidak boleh Hin lewatkan, bukan?

"Apa aku harus meminta bantuan Lee?"

Hin berbalik dan menatap setiap lukisan wanita beratribut merah yang memenuhi studionya.

"Aku pikir, ini saatnya."

Setelah memutuskan, Hin segera keluar dari studionya dan menghubungi Lee. Akan lebih mudah jika pria itu berada di rumah, tapi bahkan semalam Lee tidak pulang ke rumah.

Apa dia bersama wanita kemarin?

Batin Hin sudah menebak-nebak nakal, keberadaan Lee.

"Ada apa?" Jawab Lee, malas.

Hin telah tersambung dengan Lee. Dia sengaja menghubungi Lee dengan video call, menurutnya ini lebih nyaman dari pada lewat panggilan telepon, mengingat apa yang ingin ia bicarakan cukup penting.

Ponselnya ia sandarkan pada vas bunga di ruang tengah, agar ia leluasa.

"Kenapa kau tidak pulang?"

"Kau menghubungi ku, hanya untuk menanyakan itu? Kenapa, kau tidak bisa tidur tanpaku?" Senyum jahil Lee.

"Menjijikkan!"

Legend of the HalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang