2- Waktu yang Berhenti

154 16 14
                                    

"Astaga! Kau masih marah pasal kemarin? " Moryoung melirik Kim yang masih bersedekap di bangku penumpang, "Kau tidak lelah mendiamiku?"

Tidak ada jawaban. Moryoung mulai muak menghadapi sikap merajuk Kim. Sejak kemarin, perempuan itu telah menutup mulutnya rapat-rapat. Jangankan sebuah suara, matanya saja seperti malas menatap Moryoung.

"Baiklah. Sekarang cepatlah masuk jika memang ingin menemui Hin." Moryoung tidak betah dengan suasana menjengkelkan itu.

Mata Kim langsung melirik tajam. Jadi, Moryoung berpikir dirinya merajuk karena tidak diperbolehkan ikut Lee menemui Hin? Sangat tidak peka.

"Aku marah karena kalian berbohong. Aku tahu Lee tidak menemui Hin."

Moryoung terbelalak, tidak menyangka kebohongannya sudah diketahui oleh Kim dengan mudah. Selama ini, ia merasa dirinya cukup lihai dalam berkelit.

"Aku rasa bakatku mulai punah." Gumamnya dengan wajah berpikir.

Brakk

Pintu mobilnya dibanting keras oleh Kim. Moryoung mengajak perempuan itu mengunjungi rumah Lee dan Hin, karena dia pikir Kim marah karena telah dia halangi ikut Lee menemui Hin. Jika, dia tahu sebab kemarahan Kim, pagi ini tidak perlu dia bangun fajar hanya untuk bersiap mengatur perempuan itu. Dia sedikit menyesalinya.

🗡🗡🗡

Lee mengaduk bergantian dua cangkir kopi di hadapannya. Paginya tidak akan lengkap tanpa secangkir kopi. Minuman hitam itu membuatnya lebih semangat untuk beraktivitas, meskipun terkadang alasan meminumnya adalah untuk membuatnya tetap terjaga akibat kurangnya jam tidur.

Samar, telinganya mendengar gebrakan pintu keras. Ia menghela napas. Mengingat waktu yang masih pagi, Lee sudah tahu, siapa tamu tak diundangnya itu. Dia sudah hapal.

Satu

Dua

Tiga

Lee hanya bisa mengerutkan dahinya, melihat kedatangan Kim dengan wajah bersungut-sungutnya.

Srett

"Buat sendiri!" Lee menarik cangkirnya yang sudah di geser oleh Kim.

"Pelit. Kau punya dua." Kim tidak Terima.

"Ini untuk Hin."

Lee melenggang membawa dua cangkir kopinya, tidak mempedulikan dua tamu tak diundangnya. Biarkan mereka berdua menganggap rumah itu seperti rumahnya sendiri. Lee menuruni tangga dengan mata mengawasi Hin yang berkutat dengan lukisannya.

Hin ialah sepupu Lee. Sejak kepulangan Hin dari Belgia, mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Tak banyak keluarga yang mereka miliki. Daripada harus hidup saling berasingan, lebih baik seperti ini, kan?

Lee diam mengamati gerak tangan Hin menyapukan kuasnya. Kopi yang dibawanyapun sampai belum sempat ia serahkan. Sepupunya itu sudah menunjukkan bakatnya menjadi seorang pelukis sejak kecil. Lee masih ingat betul bagaimana Hin mencoret-coret dinding kamarnya dulu. Menyebalkan, tapi sejak itulah keluarga mereka mengetahui Hin memliki bakat yang luar biasa. Berbeda dengan dirinya. Mereka memang berasal dari keluarga Seni, namun Lee tidak berbakat dalam hal melukis. Hin mendapatkan bakat dari kedua orang tuanya yang juga seorang pelukis, sedangkan Lee hanya penikmat yang beruntung memiliki sedikit keahlian berbisnis. Ayah Lee juga seorang pelukis, tapi dia tidak merasa memiliki bakat di disana. Ia pikir, ia lebih condong pada bakat ibunya yang seorang potter. Ia lebih sering menemani ibunya membuat tembikar. Walaupun spesifikasi mereka berbeda, ia tetap tetap menghargai dan mengaggumi hasil karya Hin.

Dia kembali fokus mengamati sosok wanita dalam lukisan Hin, seorang perempuan berbaju merah tanpa wajah. Sejenak Lee kembali membandingkan lukisan yang tengah di buat Hin dengan lukisan yang ada di studio Seni Hin, ruang keramat tempat Hin selalu menyendiri dengan dunianya.

Legend of the HalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang