10- Legenda Sungai Penghilang Ingatan

76 7 8
                                    

Lee mengamati langit yang sedikit gelap. Jantungnya mulai berdetak resah. Koper berisi pakaiannya sudah duduk rapi di jok belakang. Dua tujuannya sudah selesai, mendiskusikan pameran Hin bersama tim, dan mengambil kebutuhannya untuk bekal tinggal di mansion Shin. Sekarang dia hanya tinggal kembali ke mansion dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. Namun, melihat cuaca hari ini, dia ragu. Apa dia memang harus hidup dalam bayang ketakutan? Tidak! Dia harus berani.

Keputusannya sudah bulat, Lee melajukan mobilnya menuju tempat Shin dengan yakin. Yakin yang ia paksakan. Lampu merah ia terjang, tikungan tanpa injakan rem, melesat zig zag membalap mobil yang menghalangi laju mobilnya. Dia tidak peduli walaupun nanti bakal ada suara sirine yang mengejarnya. Hal yang pertama harus dia lakukan adalah, tiba di mansion secepat yang ia bisa.

Woshh

Kecepatan semakin ia tambah saat memasuki jalan sepi di kaki bukit. Matanya tak lepas dari jalan-langit, langit-jalan. Semakin ke daerah dataran tinggi, semakin mendung menggelap. Jantungnya semakin berpacu tak karuan. Mobilnya menerobos tirai tipis kabut, hanya butuh kurang dari lima menit, kabut semakin turun dan menebal. Menebal hingga jarak pandangnya semakin pendek. Hawa dingin yang menyusup masuk, seharusnya membuat kulitnya merasakan dingin menusuk, namun kulitnya justru mengeluarkan gerombolan keringat yang menerobos pori-pori kulitnya.

Tes

Mata Lee membulat tatkala satu tetes air hujan berhasil mengetuk kaca mobilnya lirih. Oh, itu bukan lirih, di telinga Lee terdengar seperti sebuah ledakan yang yang membuat napasnya tercekat. Rahangnya mengeras dan sedikit bergetar, menahan gejolak yang ada dalam dirinya. Kaki yang ingin menambah kecepatan hanya bisa berakhir kaku.

Tes

Tes

Tes

Semakin deras,

"Argggh." Teriak Lee frustasi

Mansion sudah terlihat, namun terasa sangat jauh. Dengan sekuat tenaga, Lee banting kemudinya ke sisi jalan.

Sretttt

Ckitt

Boughh

"Aahh, tidak."

Tubuh Lee meringkuk di belakang kemudi. Tubuhnya bergetar hebat berusaha sembunyi dan hunjaman air yang terus menyerbu mobilnya. Setiap butir air yang mendarat tajam, terdengar keras dan menakutkan. Air matanya menetes deras membasahi kedua pipinya.

Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya, namun hanya berhenti di dalam hatinya. Suaranya tak bisa keluar. Kakinya naik, tubuhnya meringkuk menghadap samping. Selama ini, dia selalu menghindari hujan. Setidaknya setiap kali perkiraan cuaca menampilkan peluang hujan, ia akan memilih untuk mengurung diri di rumah. Dia akan menutup semua tirai, dan menyembunyikan diri di ruang yang paling jauh dari jangkauan suara hujan. Meski itu berada di tempat sempit antara meja dan kursi.

Bodohnya, hari ini Lee tetap memaksakan diri untuk pergi. Seharusnya dia memilih untuk kembali ke dalam rumahnya dan kembali ke mansion besok pagi. Hanya karena janji akan segera kembali setelah urusannya selesai, ia justru berada dalam kondisi mencekik seperti ini. Namun dia tidak bisa mengutuk siapapun.

Tok

Tok

Suara ketukan terdengar lirih. Dia tidak tahu siapa itu. Pikirannya tidak bisa menerka-nerka. Tubuhnya kaku, tak bisa bergerak atau menoleh. Dia tidak berani.

Tok

Tok

🗡🗡🗡

Shin berjalan kembali ke mansion. Semula ia pikir, ia bisa sedikit berjalan-jalan di sekitar. Ah, dia malas di rumah mendengar ocehan Gu yang tidak penting. Tapi apa boleh dikata, jika alam pun tak menyetujui dirinya kabur. Baru 15 menit ia meninggalkan rumah, hujan sudah turun. Untunglah, dia tidak pernah melepas payung merahnya tiap kali keluar rumah. Inilah fungsi pepatah, sedia payung sebelum hujan.

Legend of the HalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang