7. Kota Ishvar

237 55 54
                                    

"SELAMAT datang di Kota Ishvar."

Lintang menahan napas.

Metropolis memang luar biasa indah, akan tetapi Ishvar berada di level yang sama sekali berbeda. Ini kota di mana makhluk-makhluk keturunan dewa bermukim, makhluk-makhluk dengan kekuatan tak terbayangkan, mereka yang selama ini berdiri di balik tirai panggung sandiwara.

Mereka yang menempati puncak tertinggi rantai makanan.

Di hadapan mereka, sungai berair jernih berkelok-kelok. Gemericik airnya entah bagaimana terasa seperti musik yang mengalun lembut. Serena melangkah lebih dulu, menyeberangi jembatan megah bersepuh emas.

Di bawah sinar lembut mentari senja, paviliun-paviliun mewah berkilau keperakan. Taman-taman hijau merekah, patung dewa-dewi agung berdiri gagah sejauh mata memandang. Prajurit berpakaian serba hitam berlalu-lalang, memberi hormat pada Serena dan mengangguk canggung pada Lintang tiap berpapasan.

Dan tepat di puncak keindahan kota, dilatarbelakangi sisi-sisi gunung, ialah istana megah yang membubung tinggi, lebih tinggi dari gedung manapun di Metropolis. Tepat di sebelah istana itu berdirilah sebuah bangunan sehitam obsidian, lebih kelam dari malam.

"Itu istanaku," ujar Serena. "Lebih tepatnya, kediaman Keluarga Mahadarsa sebagai klan yang memimpin Ishvara selama bergenerasi-generasi. Dan bangunan di sebelahnya itu," Serena mengarahkan dagunya,"Akademi Ishvar. Tempat kami mendidik Ishvara-Ishvara muda yang memenuhi kualifikasi untuk dijadikan prajurit terbaik. Kebanyakan dari mereka adalah putra-putri klan elit keturunan dewa-dewi terkuat. Putraku sendiri bersekolah di sana."

Ada yang aneh dari cara Serena mengatakan putraku, seolah-olah itu kata terburuk yang bisa dipikirkannya. Namun ucapan Serena selanjutnya segera mengalihkan atensi Lintang.

"Dan kau juga akan bersekolah di sana, Lintang."

"Apa?" Lintang tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Aku? Kau tidak salah bicara?"

Serena bersedekap. "Ada yang salah dari ucapanku?"

"Tidak, tapi ..." lidah Lintang terasa kelu. Klan elit. Keturunan dewa-dewi terkuat. "Katamu tadi, mereka Ishvara muda yang memenuhi kualifikasi. Sementara aku... yah, cuma aku." Kecuali kalian memasukkan keahlian mencopet sebagai salah satu kualifikasi.

"Bukankah itu tujuanmu?" Mata Serena menyipit tajam. "Menjadi lebih kuat?"

"Ya, tapi... tidakkah kalian punya pendidikan militer untuk level yang lebih rendah? Seperti yang kau tahu, aku tidak punya kekuatan apa pun."

Serena berhenti berjalan. "Kau tahu bagaimana aku menilai harga sebuah nyawa?"

Lintang menelan ludah, lalu menggeleng. "Tidak."

"Berdasarkan seberapa berguna mereka untukku." Pupil Serena yang semerah nyala api berpijar terang. "Dengar baik-baik, Lintang, aku tak butuh anak cengeng penakut di pasukanku. Jika kau tidak memberiku keuntungan apa pun, aku takkan segan-segan mengembalikanmu ke distrik kumuhmu yang menjijikkan itu, atau bahkan menjadikanmu makanan monster di Hutan Tanpa Tepi. Kau mengerti?"

Lintang tahu Serena sepenuhnya serius dengan ucapannya. Ia bergidik ngeri membayangkan wajah mayat-mayat di rumah bordil. Wanita ini memang tak punya belas kasihan. Namun Lintang tak bisa menahan diri untuk tidak membalas,"Memangnya apa yang sudah pria itu lakukan? Mengapa kau berekspektasi setinggi itu terhadapku?"

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang