3. Takdir Dewa

271 76 70
                                    

"6 ORANG tewas, 22 orang mengalami luka bakar parah," pria botak berwajah bengis di hadapan Lintang, sang interogator, menatapnya dingin dengan dagu terangkat. "Jenderal Van den Berg kritis berkat kau, bersenang-senanglah jika kau mau, tapi bagaimana dengan nyawa-nyawa lainnya? Empat orang yang tewas itu orang-orangmu, Nak. Bisakah kau bayangkan? Orang-orang yang datang ke festival dengan penuh kegembiraan, mengharapkan makanan lezat dan hiburan meriah, lalu harus meregang nyawa di tangan anak-anak bodoh yang mengira mereka sedang menegakkan keadilan."

Mendengarnya, jantung Lintang mencelos. Enam orang. Empat di antaranya warga yang seharusnya ia selamatkan. Rakyat kecil yang seharusnya ia bela.

Belum lagi, teman-temannya ... teman-temannya yang ia seret ke depan pintu gerbang neraka.

Alea pasti akan membencinya seumur hidup.

Tangan gadis itu mengepal. "Pasukan Revolusi," ujarnya, suaranya bergetar,"kenapa mereka melakukan ini pada kami?"

Sang interogator terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kalian sama sekali bukan yang pertama," jawabnya geli. "Kau kira mengapa mereka bisa bertahan selama bertahun-tahun, Nak? Mereka merekrut anak-anak, orang dewasa, siapapun yang cukup naif dan tolol untuk bergabung dengan pasukan bodoh mereka itu. Tidak peduli apa latar belakangnya, apa keahliannya, mereka akan tetap menerima kalian, bukan? Sebab mereka membutuhkan kalian sebagai tumbal. Kalau kau menyangka mereka hendak membangun Hindia dengan kepercayaan dan penghormatan rakyat, kalian salah besar. Mereka akan merebut paksa kekuasaan di atas darah, air mata, dan jiwa orang-orang yang mereka korbankan."

Telinga Lintang berdenging, menenggelamkan kata-kata sang interogator. Ia merasa begitu kecil, begitu rendah, begitu tak berdaya ... bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya?

Berapa kali Pasukan Revolusi menyinggung-nyinggung soal pengorbanan? Bahkan sejak pertama kali mereka menemui Saka untuk bergabung, lelaki itu sudah terlebih dulu bertanya apakah mereka siap mempersembahkan nyawa demi kebebasan Hindia. Begitu juga dengan pidatonya di griya pada malam sebelum misi. Semua itu amat jelas, seterang mentari di siang hari.

Tatapan penuh permohonan Aruna sesaat sebelum tubuh gadis itu remuk berlumuran darah terngiang di benak Lintang. Mereka tidak pernah mengharapkan gadis itu untuk berhasil. Mereka hanya butuh pemicu. Mereka butuh orang-orang yang cukup bodoh untuk ditempatkan di tengah-tengah kerumunan.

Bola mata Lintang perih akibat menahan tekanan air mata. Gumpalan perasaan  menyesaki dadanya—rasa bersalah, getir, dan kebencian bercampur aduk jadi satu. Ia dikhianati dengan cara paling keji, oleh orang-orang yang selalu dianggapnya sebagai pahlawan.

"Apa aku akan dieksekusi mati?" tanya Lintang getir.

Sang interogator mengamatinya lamat-lamat. "Sayangnya, tidak. Kami masih membutuhkan kalian untuk informasi."

Raut wajah Lintang berubah pias. Ia benci Pasukan Revolusi, namun tak bisa dipungkiri hanya merekalah satu-satunya harapan Hindia. Apabila ia membocorkan informasi pada pihak musuh ....

Menyadari perubahan ekspresi di wajah Lintang, sang interogator melambaikan tangan pada anak buahnya. "Bawakan alat itu," perintahnya.

Dua orang petugas kembali dengan alat bergerigi berbentuk aneh. Lintang menelan ludah. Apapun tujuan alat itu, jelas tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang baik.

"Kau tahu apa ini?" tanya si interogator. Lintang menggeleng, maka ia melanjutkan. "Ini finger guillotine. Kau akan menaruh jarimu di sini, sampai aku menarik satu per satu senar pemicu. Jika kau tidak beruntung, bilah pisau ini akan turun, cukup tajam untuk mencincang jarimu sampai putus." Seringai tipis menghiasi wajah bengis si interogator. "Satu pertanyaan untuk satu senar."

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang