"REFLEKSMU LAMBAT!"
Bentak Nala, ujung pedangnya mencungkil gagang bilah Lintang sampai terlepas dari pegangan dan jatuh berkelontangan. Nala mengayunkan pedang sekali lagi. Panik, Lintang meraih bilahnya, menahan serangan Nala tepat waktu.
TRANG! Dua logam yang bertemu di udara itu berbunyi nyaring. Sedetik saja Lintang terlambat, pedang tajam itu pasti akan menyambar ulu hatinya.
"Masih terlalu lambat," Nala mendesis. Detik berikutnya ia menyerang lagi, kali ini lebih membabi buta. Bak tanpa belas kasihan, ia menebas, menikam, menusuk, dalam gerakan cepat yang akurat. Lintang mulai kewalahan menahan serangan Nala, terdesak mundur selangkah demi selangkah.
"Berhenti mundur!" teriak Nala tanpa berhenti menyerang meski sekejap mata. "Bagaimana kau memenangkan pertarungan dengan cara begitu, hah?! Berhenti mundur dan serang aku!"
Lintang menggertakkan gigi. Ia mencengkeram bilahnya lebih kuat. Ketika melihat celah, ia langsung menerjang. Nala menangkap lengannya dengan mudah, memelintirnya dan membantingnya ke tanah.
"Argh!" rintih Lintang, tubuhnya jatuh berdebum dengan bunyi BUK yang sama sekali tidak elegan. Bilah hitamnya berkelontangan, terlepas dari genggaman.
"Kau tidak punya tujuan," desis Nala. "Tidak ada tujuan selain menang. Kau hanya menyerang asal dengan brutal. Itu akan membawamu pada kekalahan total."
"Contohnya bagaimana?" Lintang bangkit susah payah, seluruh tubuhnya terasa jeri.
"Kau harus memerhatikan celah mana yang tepat untuk menyerang dan juga menghasilkan banyak kerusakan." Dengan kata-kata itu, Nala kembali menerjang.
Tujuan. Tujuan.
Alih-alih menahan dengan bilahnya, Lintang menunduk, membiarkan pedang Nala melewati kepalanya. Ia menendang lutut Nala sekuat mungkin. Tungkai Nala sekuat besi dan Lintang nyaris mengaduh—tapi keterkejutan Nala lebih dari cukup untuk memberinya waktu. Lintang menubrukkan diri di dadanya dan mereka berdua berguling di tanah, dengan bilah Lintang di leher Nala.
"Kau belajar dengan cepat," sudut bibir Nala terangkat, nyaris menyerupai senyuman,"Tapi masih terlalu cepat 100 tahun bagimu mengalahkanku."
Dalam satu gerakan cepat, Nala meraih siku Lintang, membantingnya ke samping dan memiting lehernya. Lintang memekik kesakitan dan posisi mereka bertukar. Lintang menelan ludah—logam bilahnya sendiri kini terasa dingin di lehernya.
"Jangan biarkan kemenangan membuatmu lengah," ucap Nala. "Hewan buruan yang terluka adalah yang paling mengerikan. Karena mereka tak lagi punya apapun untuk dipertaruhkan."
Lintang menelan ludah, menyeka debu dan peluh dari pelipisnya.
"Pembelajaran malam ini kita sudahi." Nala berdiri dan menggosok-gosok tangannya yang penuh debu.
"Kenapa? Kita bahkan belum belajar cara mengendalikan kekuatan Kegelapan!" protes Lintang.
Nala melirik arlojinya, lalu menyeringai. "Ah, tidak bisa. Kasino sudah buka. Permainan poker, alkohol dan wanita cantik menungguku di sana," kekeh Nala. "Lagipula, sudah ada yang menunggumu dari tadi. Selamat bersenang-senang."
"Apa?"
Tanpa menjawab pertanyaannya, Nala melebur ke dalam udara kosong. Lintang mendengus kesal, memandangi kepergian Nala. Dasar menyebalkan. Lagipula apa coba maksudnya?
"Hei."
Lintang terkesiap, refleks mencengkeram bilahnya. "Siap—astaga!" Gerakan waspadanya berubah jadi gelak tawa. "Kau mengagetkanku, sialan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Ashes (HIATUS)
Fantasy[15+] DARK FANTASY - MINOR ROMANCE 1st draft "Yang kuat akan memakan yang lemah. Begitulah cara kerja dunia ini. Takdir yang telah digariskan oleh para dewa bahkan sebelum semesta ini ada." Setidaknya begitulah propaganda yang disebarkan para begund...