LINTANG berbaring dalam keheningan selagi Serena menyembuhkan luka-lukanya. Tangan wanita itu berpendar dengan cahaya terang, menyebarkan rasa hangat dan aman ke sekujur tubuh. Ajaib, luka-luka Lintang perlahan menutup, begitu juga dengan tulangnya yang retak. Rasanya tak masuk akal, tapi semua yang baru saja dialaminya memang tak ada yang masuk akal.
Saat jemari Serena berpindah ke wajah Lintang, hendak menyembuhkan luka yang menganga lebar di sana, Lintang menepisnya. "Biarkan yang itu tetap di situ."
Alis Serena terangkat sebelah. "Kenapa? Kau terlihat mengerikan dengan luka itu. Wajah cantikmu jadi tidak berarti lagi."
"Wajah ini tak berarti apapun untukku."
"Kau yakin?" Serena terkekeh. "Ada banyak hal di dunia ini yang akan jadi lebih mudah jika kau cantik."
"Biarkan saja," Lintang bersikeras. "Aku ingin mengingat hari ini."
Lintang kira Serena akan menolak, tapi wanita itu hanya mengedikkan bahu dengan malas. "Terserah, tapi biarkan aku setidaknya mengeringkan lukanya. Kalau kau terinfeksi dan jatuh sakit, kau hanya akan merepotkan."
Ia mengangguk dan membiarkan Serena melakukan pekerjaannya. Setelah kondisi Lintang membaik, Serena menuntunnya keluar ruangan. "Akan lebih efisien jika kita berteleportasi, tapi dengan kondisimu sekarang, kemungkinan besar kau cuma bakal hancur menjadi ribuan keping."
Dalam kondisi normal, mata Lintang akan berbinar-binar dan gadis itu pastilah mendesak Serena untuk mengajarkannya teknik teleportasi. Jika teknik itu ada, ia bisa melarikan diri dari Distrik Sunya kapan saja. Ia bisa pergi ke manapun, ke setiap belahan dunia. Jika teknik itu ada, ia, Allan dan Alea punya kesempatan untuk melarikan diri. Jika teknik itu ada, mereka tidak perlu berakhir di sini. Dunianya tidak akan runtuh begitu saja.
Namun begitu menginjakkan kaki ke luar ruangan rias, khayalan Lintang mendadak buyar. Gadis itu seketika limbung, nyaris jatuh terduduk di tanah. Tangannya mencengkeram daun pintu demikian erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kedua lututnya bergetar hebat.
Di hadapannya, mayat-mayat bergelimpangan.
Dengan ngeri ia menyadari bahwa mayat-mayat itu adalah para penghuni rumah bordil—tukang pukul, pelayan, bahkan Mami Rani sendiri. Tak tampak ada tanda-tanda kehidupan lain, sepertinya para pelacur lari meninggalkan rumah saat terjadi kekacauan.
Mereka semua mati dengan sorot mata penuh kengerian. Namun yang membuat Lintang semakin mual adalah fakta bahwa mereka tidak berdarah. Wajah mayat-mayat itu kesemuanya pucat pasi, satu-satunya cairan merah yang nampak ialah yang mengalir dari mulut atau hidung mereka. Luka mereka pun terlihat ganjil, berupa pusaran aneh ... seperti cakram, yang menghisap kulit mereka ke dalam.
Luka itu barangkali memang tidak menimbulkan pendarahan yang mencolok, namun menyerang dan menghancurkan organ-organ vital. Itu artinya ... mereka mengalami pendarahan dalam, menanti dalam kesakitan hingga ajalnya datang. Siapapun yang melakukan ini, dia jelas bukan manusia. Dia adalah monster. Iblis. Seberapapun bencinya Lintang pada orang-orang ini, kematian mereka terlalu keji untuk bisa dia hadapi.
Perut Lintang kembali bergejolak hebat, dan kali ini ia tak tahan lagi. Selagi bertumpu pada daun pintu, Lintang tersedak memuntahkan isi perut yang mendesak keluar. Rasa pedih dan mual bercampur aduk, dunianya terasa berputar-putar.
"Menjijikkan."
Hanya itu komentar Serena—entah ditujukan pada kondisi mayat-mayat yang terkapar itu atau muntahan Lintang. Bukan gila. Bukan kejam. Hanya menjijikkan.
Lintang menyeka bibir, menatap Serena tak percaya. "Jangan bilang kau ... yang melakukan ini—"
Serena balas memandang Lintang, tatapannya sukar diartikan. Lalu ia bersedekap dan melanjutkan langkah, "biasakan dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Ashes (HIATUS)
Fantezie[15+] DARK FANTASY - MINOR ROMANCE 1st draft "Yang kuat akan memakan yang lemah. Begitulah cara kerja dunia ini. Takdir yang telah digariskan oleh para dewa bahkan sebelum semesta ini ada." Setidaknya begitulah propaganda yang disebarkan para begund...