10. Lebih Kuat dari yang Kau Duga

185 52 21
                                    

"LINTANG!"

Napas Rinai memburu tak beraturan. Helaian-helaian rambutnya berhamburan tak tentu arah, bulir-bulir keringat membanjiri dahinya. "Bukankah kita sudah melewati putaran ke-tiga puluh? Itu sudah cukup, kan?"

Lintang menoleh susah payah. Dadanya terasa sakit dan kakinya mungkin sudah sejak tadi berteriak minta berhenti. Namun ia menggeleng. "Kalau kau mau berhenti, berhenti saja," katanya terengah.

Mata bulat Rinai melebar. Mungkin ia tak percaya seorang manusia seperti Lintang punya stamina yang lebih kuat darinya. Rinai tidak tahu, kalau itu bukan perkara stamina. Tubuh Lintang seharusnya sudah tumbang sejak tadi. Mengelilingi lapangan seluas tiga hektar sebanyak tiga puluh kali putaran itu tidak manusiawi.

Yang membuat Lintang bertahan cuma satu ; kalau ia berhenti sebelum putaran ketiga puluh, ia pasti akan disingkirkan. Kalau ia berhenti di putaran ketiga puluh, ia tetap akan disingkirkan. Para keturunan dewa ini tak butuh petarung-petarung medioker. Mereka menginginkan yang terkuat.

"Jangan bilang, ini soal Ganesha? Kau serius ingin mengalahkannya?" lanjut Rinai, masih keras kepala mengikuti langkah Lintang.

Tanpa menoleh, Lintang mengangguk. "Tidak ada pilihan lain."

"Tapi, itu mustahil!" Rinai memprotes. "Kami yang Ishvara saja tidak bisa."

Lintang menatap Rinai sejenak. "Kalau soal melakukan sesuatu yang mustahil, aku ahlinya."

"Kau gila," putus Rinai.

"Kau bukan orang pertama yang bilang begitu."

Rinai menghela napas, akhirnya menyerah lebih dulu. Sementara itu Lintang memaksa kakinya terus berlari, dan berlari. Kau tidak boleh cengeng, gumam Lintang, pandangannya kabur oleh peluh. Kau tidak ada di sini cuma untuk disingkirkan.

Kemudian, semuanya gelap dan Lintang ambruk di putaran keempat puluh.

***

Ia terbangun di ruang kesehatan, bau obat menyengat menusuk hidung. Rinai dan Aksa duduk di samping dipannya, dengan ekspresi galak yang serupa.

"Kubilang juga apa," ujar Rinai lelah. "Tubuhmu sudah mencapai batasnya."

"Aku tahu kau tidak punya pilihan lain, tapi bukan seperti ini caranya," Aksa menggeleng. "Bisa-bisa ototmu cedera dan kau tidak bisa bertarung selamanya."

Lintan memiringkan kepala, mengabaikan ucapan kedua temannya. "Batara—maksudku, Instruktur Batara bilang apa?"

"Dia tidak tampak terkesan," jawab Aksa datar. "Alih-alih, dia kelihatan... terganggu. Katanya,'bilang pada teman kalian, jangan berusaha terlalu keras untuk sesuatu yang tak mungkin dia capai.'"

"Sialan," gerutu Lintang. "Pak Tua itu cuma tak suka karena aku manusia, bukan Ishvara."

"Sssttt!" Rinai melotot memperingatkan. "Kalau-kalau kau lupa, Pak Tua itu penanggung jawab sekolah ini."

"Terserahlah. Lihat saja nanti, akan kubungkam mulut sok tahunya itu." Terseok-seok, Lintang bangkit dari dipan. "Kalian membolos kelas?"

"Yah ... ini kelas pengendalian kemampuan dewata. Kehadiranku tidak berpengaruh banyak," Aksa menyahut.

Rinai mengangguk setuju. "Keluarga Ryshaka adalah keturunan langsung Dewa Penyembuhan. Teknik turun menurun kami itu sihir medis, yang tidak dipelajari sama sekali di sana."

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang