4. Kutukan

216 74 63
                                    

LINTANG tak pernah merasa cantik. Kehidupan jalanan membuat Lintang tak pernah punya waktu untuk sekadar mematut diri di cermin, ataupun berandai-andai tentang baju-baju indah layaknya anak perempuan seusianya. Terlintas di pikirannya pun tidak. Ia hanya ingin bertahan hidup, dan satu-satunya impiannya adalah keluar dari gerbang sialan itu.

Namun lambat laun, tatapan beberapa orang mulai membuat Lintang risih. Entah bagaimana tatapan mereka tak terasa seperti memandang manusia lainnya. Ia merasa dilihat sebagai objek, seperti barang pajangan di pasar. Terutama karena tatapan mereka berlama-lama di beberapa bagian spesifik. Belum lagi telinganya panas mendengar panggilan-panggilan tak mengenakkan yang ditujukan untuknya.

Kata Alea, itu karena Lintang cantik.

Lintang tak suka mendengarnya. Karena ia 'cantik', ia tak bisa lagi berkeliaran sendirian di malam hari. Pun tiap melewati tempat sepi, jantungnya berdetak tak beraturan dan ia cepat-cepat memacu kaki, berlari secepat mungkin.

Puncaknya adalah saat Distrik Sunya digemparkan oleh perempuan-perempuan yang diculik diam-diam. Dari kabar burung yang beredar, mereka dibawa untuk dijadikan budak pribadi para bangsawan atau dikirim sebagai pelacur ke rumah bordil. Karena kejadian itu, Alea melarang Lintang keluar dari pemukiman mereka sampai beberapa hari lamanya. Lintang, tentu saja, mengamuk dan memprotes tak terima, namun kata-kata Alea kemudian membungkamnya.

'Bagi orang seperti kau dan aku, kecantikan itu sama sekali bukan anugerah. Cantik itu kutukan. Sebab dunia ini tempat yang kejam dan seolah sengaja diciptakan sebagai neraka bagi wanita.'

Di tempat ini, di mana Lintang dan gadis-gadis lain digelandang paksa ke dalam bak mobil truk seperti hewan liar yang dijinakkan, ia akhirnya mengerti.

Lintang bukan tak suka menjadi cantik— ia kini membencinya setengah mati.

***

Rumah bordil itu terletak di pemukiman terpencil, namun sama sekali tidak kumuh ataupun menyedihkan—justru sebaliknya. Rumah itu bangunan termegah di sana, dengan pagar tinggi dan lampu-lampu kristal.

Mereka disambut seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal dan mata tajam seperti ular. Di sisinya berdiri para tukang pukul—lelaki kekar berotot dan bertato dengan mata berkilat bengis, seolah menegaskan bahwa tiada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri.

Wanita itu menyebut dirinya Mami Rani, dengan nada ramah yang kentara sekali dibuat-buat. Matanya yang tajam menelaah satu per satu wajah mereka. Tanpa sadar, Lintang berjengit ngeri ketika tatapannya bersirobok dengan Mami Rani.

Senyum tipis menghiasi wajah wanita itu. "Ah, kalian gadis-gadis beruntung. Kalian tak perlu menjadi pekerja kasar sebagaimana orang-orang biasa. Kalian bisa hidup mewah bergelimang harta, pun nama kalian akan tersohor sampai ke Metropolis sana. Jadi," tatapannya menajam, menusuk hingga ke tulang, "jangan sia-siakan kesempatan yang kuberikan."

Rasa mual menyengat dadanya. Isi perutnya bergejolak dan Lintang ingin muntah saat ini juga. Beruntung? Kesempatan yang kuberikan? Sejak kapan dipaksa melacur adalah sebuah keuntungan?

Hidupnya sudah tamat, Lintang tahu itu. Ia tak bisa lagi kembali ke saat-saat lalu, di mana ia masih bersama Allan dan Alea, memimpikan dunia indah di luar sana. Lintang salah besar. Dunia luar itu kejam, lebih kejam dari apa pun juga.

Beberapa perempuan masuk ke ruangan dan menyeret satu per satu dari mereka. Perempuan yang menghampiri Lintang agak aneh, ia memakai topeng yang menutupi nyaris separuh wajahnya. "Kemari," ucapnya. Bahkan suaranya pun terdengar ganjil. "Ikut aku."

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang