21. Untuk Mengalahkan Monster, Jadilah Salah Satunya

207 37 20
                                    

ITU Ganesha.

Lidah Lintang terasa kelu, seluruh kata-kata yang hendak dia ucapkan bak tersangkut di tenggorokan. Di ujung pintu beton yang telah hancur tak berbentuk, Ganesh bersandar dengan santai. Tatapan matanya yang setajam elang mengunci pandangan Lintang, menelisik ke dalam iris matanya.

"Kenapa diam saja? Kau takut aku melaporkan semua ini pada ibuku?" sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum sumir.

"Bagaimana ... bagaimana kau bisa ada di sini?" ucap Lintang tersendat. Ia ganti menoleh pada Aksa, jantungnya berdentum-dentum tak karuan. "Tidak mungkin kan ..."

"Tidak." Keterkejutan nyata terukir pula di wajah Aksa yang kini pucat pasi. "Ini bukan ulahku, Lintang, percayalah. Kumohon."

"Memang bukan," ucap Ganesh tenang. "Tapi aku mengikutimu sejak kau keluar dari bangunan Akademi," ia mengarahkan dagunya pada Aksa. "Kau, Sybil, mungkin bisa menipu orang-orang bodoh itu, membuat mereka memercayaimu, tapi tidak denganku. Aku tak pernah memercayai siapapun."

Lintang menatap tempat kosong di mana hologram ayahnya semula berdiri. Sepertinya sistem itu rusak bersama dengan hancurnya akses pintu masuk ke laboratorium. "Hei," ujarnya pelan. "Kau akan melaporkanku pada Serena?"

Ganesh menatapnya dingin. "Apapun yang bisa menghancurkanmu, akan kulakukan."

Lintang meremas ujung bajunya. Berpikir, Lintang. Berpikir. "Kalau kau seingin itu menghancurkanku ..." ujarnya, mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang. "Kenapa tak kau lakukan sendiri?"

"Aku tak mau mendengar omong kosongmu, Batari Lintang Parameswari. Akan kulaporkan kau dan Sybil pengkhianat ini agar kalian bisa dieksekusi di tiang gantungan sebagai pembelot," desisnya. "Kau akan kuhancurkan. Hancur. Jadi abu."

Mendengarnya, Lintang memutar mata. "Aku tahu apa artinya hancur. Lagipula, bisakah kau berhenti memanggilku dengan nama lengkapku? Itu menyebalkan," Lintang tersenyum tipis dalam usaha terbaiknya memperpanjang percakapan. "Lintang. Lintang saja, oke? L-I-N-T-A-N-G," eja Lintang seperti sedang berbicara pada anak kecil.

Air muka Ganesh mengeras dan seketika Lintang menyesali perkataannya. "Oke, lupakan. Tidak usah panggil aku apapun. Sekalian saja tidak usah berbicara padaku."

"Aku serius, Batari Lintang Parameswari," ucap Ganesh dengan penuh penekanan. "Berhenti bermain-main denganku. Begitu ibuku tahu, kau akan tamat."

Lintang tersenyum, kemudian berjalan mendekati Ganesh. Mata pemuda itu melebar tatkala Lintang berjinjit dan mencondongkan wajahnya mendekat. Mereka beradu pandang dalam jarak setipis benang, mata Lintang menemukan percikan api yang membara di iris kemerahan Ganesha. Api panas yang bisa saja membakarnya hangus suatu saat nanti.

Tapi Lintang adalah bayangan. Dia tak takut pada api, karena api itu tak berdaya di bawah kekuasaannya. Api itu akan ia lahap habis hingga tak bersisa, hanya meninggalkan arang dan jelaga tak berguna.

"Oh, Ganesha," bisik Lintang dengan suara rendah. "Aku sempat mengagumimu, tapi kini aku tahu. Kau cuma pangeran manja yang terbiasa dipuja-puja dan hidup berfoya-foya. Kau tak bisa melakukan apa-apa selain merengek dan mengadu pada ibumu seperti bocah balita."

Urat-urat di leher Ganesh menegang. Api memercik dari sela jari jemarinya. "Jaga bicaramu, manusia hina," geram Ganesh, suaranya tertahan. "Aku bisa membakarmu di sini sekarang juga."

"Coba saja," balas Lintang. "Tapi aku yakin kau tak mampu melakukannya. Kau itu tak lebih dari pengecut belaka."

Di belakang punggung Lintang, Aksa melotot. Tatapannya bak berkata, dasar bodoh! Berhenti memprovokasinya lebih jauh, kau sudah kelewat batas!

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang