18. Sebuah Dunia Tanpa Dewa

154 47 18
                                    

Hi! This gonna be a long ride so please prepare yourself. Enjoy the ride!

"KEBENARAN?" Lintang mencondongkan tubuh penasaran. "Apa maksudmu?"

Nala mengangguk. Angin berdesir kencang selagi pemuda itu melanjutkan,"Kebenaran tentang dewa-dewi dan Ishvara. Tentang siapa mereka sebenarnya dan apa yang terjadi ratusan tahun lalu."

Lintang menelan ludah. Meski penasaran, ia bertanya. "Kenapa kau memberitahuku ini sekarang?"

"Karena kita kini adalah entitas yang sepenuhnya berbeda dari mereka," mata Nala menerawang ke arah cakrawala, jauh entah ke mana. "Kita adalah titisan Kegelapan. Jati diri kita bukan lagi manusia ataupun Ishvara. Hanya dengan mengetahui kebenaran sesungguhnyalah kita bisa sepenuhnya menguasai kemampuan kita."

Lintang menautkan jari jemarinya. Di bawah pendar cahaya bulan, air muka Nala tampak berbeda dari biasa. "Apa kebenaran ini ... semacam informasi berbahaya atau semacamnya?"

Nala mengangguk. "Jangan pernah bicarakan hal ini pada siapa pun. Ingat, siapa pun."

Lintang menggigit bibir, lalu mengangguk.

Pemuda itu baru saja hendak mengeluarkan sesuatu dari tasnya tatkala mendadak sebuah suar berwarna merah meledak di udara. "Apa itu?!" Lintang berseru kaget.

Sebuah suar lagi menyusul, kali ini berwarna hijau. Nala dengan sigap berdiri. "Seseorang sudah ditangkap," ujarnya, nada suaranya sukar diartikan. "Ada mata-mata di antara kita."

***

Lintang terseok-seok mengikuti langkah Nala yang ringan, bak melebur dalam kegelapan malam. "Cepat, Bocah! Ini keadaan darurat!" omel Nala, tanpa memperlambat langkahnya sedikit pun.

"Kau yang terlalu cepat!" Lintang memprotes. Kakinya sudah terbiasa dipakai berlari belasan putaran dan mendaki bukit, tapi kecepatan langkah Nala benar-benar berada dalam level yang berbeda.

Begitu mereka berhasil keluar dari perbatasan Hutan Tanpa Tepi, pusat kota sudah ramai. Murid-murid Akademi pun berkumpul di sana—kebanyakan mengenakan piyama, seperti dibangunkan paksa dari tidur lelap.

"Siapa sih, mata-matanya?!" Lintang berjinjit-jinjit, tubuh mungilnya dengan cepat tenggelam dalam lautan keramaian. "Minggir, minggir! Aku juga mau lihat!" desaknya sambil mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya. Orang-orang itu berbalik hendak memprotes, tapi begitu menyadari sosok itu adalah Lintang, mereka lantas bungkam dan mundur.

Lintang menyeringai. Ada gunanya juga reputasi sebagai titisan Kekacauan tersebar ke mana-mana. Kini orang-orang takut dan segan padanya, bukan hanya murid Akademi melainkan juga warga Kota Ishvar.

Akhirnya! Lintang berjinjit sekali lagi. Pandangannya sudah bersih dari kerumunan.

Namun ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di tengah-tengah lautan manusia, dengan tangan terikat dan algojo berpedang lengkung berdiri di kedua sisi, seketika senyum Lintang menghilang.

Pasti sulit bagimu, kan?

Kau lebih kuat dari yang kau duga.

Mata Lintang bertemu dengan Kinnara. Wanita itu tersenyum melihatnya, meski wajahnya babak belur, bercoreng debu dan darah keemasan.

"Tidak. Tidak." Tubuh Lintang melemas, tungkainya terasa seberat besi. Gadis itu nyaris jatuh terduduk di tengah keramaian kalau saja Nala tidak menangkap lengannya. "Tidak mungkin."

"Lady Serena sendiri yang memergokinya berkomunikasi dengan pasukan Sriwidadi," ujar Nala datar. "Dia berusaha kabur dari sebelah utara Hutan Tanpa Tepi, tapi usahanya gagal. Itu benar. Dia memang mata-mata."

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang