8. Manusia yang Menentang Dewa

250 48 46
                                    

SUARA deritan roda yang bergesekan dengan lantai marmer menjadi satu-satunya bunyi di gedung asrama yang sunyi. Lintang mengeratkan cengkeraman pada kopernya, koper berisi baju, buku-buku, dan segala macam perlengkapan yang mungkin akan ia butuhkan selama tiga tahun ke depan. Dengan asumsi aku akan bertahan selama itu, Lintang menggumam, tertawa getir dalam hati.

Ragu-ragu, Lintang melanjutkan langkah. Ia tidak salah jalan, kan? Wanita tua berkacamata di ruang administrasi mengarahkannya ke sini. Lintang menelan ludah, melewati lorong demi lorong sepi seolah tidak berpenghuni.

Ia baru saja hendak mengembuskan napas lega begitu melihat seorang gadis di kejauhan, saat kemudian tubuhnya dihantam balok es besar dan terlempar membentur dinding.

Lintang seketika tercekat. Di hadapannya, seorang gadis berdiri tegak, jemari lentiknya meliuk-liuk di udara. Sadarlah Lintang bahwa gadis itulah pelakunya, sebab seiring dia menggerakkan jemari, balok es itu menghimpitnya semakin kuat. Akses oksigen ke paru-parunya sontak terhambat. Dada Lintang seolah terbakar, ia terbatuk-batuk berusaha melepaskan diri.

Sia-sia saja. Gadis itu memiringkan kepala, senyum sumir meremehkan perlahan menghiasi wajahnya yang jelita. "Kau bercanda? Cuma segini kemampuan manusia rendahan yang berani-beraninya menantang Ganesha?"

Lintang terbatuk lagi. "Hentikan," pintanya susah payah sembari mencengkeram erat lehernya.

Gadis itu terkekeh sinis. "Tidak akan. Sampai kau menyadari posisimu di sekolah ini."

Rasa sakitnya tak tertahankan lagi. Apalagi tubuh Lintang sudah benar-benar mencapai batasnya hari ini. Lintang kira ia akan sungguhan mati, sampai seorang gadis bermata bulat menghambur ke arah mereka dan mendorong si gadis berdarah dingin. "JINGGA! Hentikan, dia bisa mati!"

Sepertinya itu cukup untuk merusak konsentrasi Jingga, sebab kemudian balok es yang menekan Lintang hancur berkeping-keping. Lintang merosot ke lantai, jatuh terduduk sembari terengah-engah mengambil napas.

"Dia harus diberi pelajaran," Jingga bersikeras, mendelik pada gadis yang menolong Lintang. "Dia harus tahu posisinya di sekolah ini."

"Dia baru saja datang," sela gadis itu penuh penekanan. "Jangan terlalu keras padanya." Ia lalu beralih pada Lintang. "Kau tidak apa-apa?"

Tentu saja kenapa-napa, gumam Lintang dalam hati, tapi ia hanya mengangguk lemah. Gadis penolongnya memapah Lintang berdiri, melangkah melewati Jingga yang bersedekap dengan ekspresi tak suka.

"Aku Rinai. Mulai hari ini, kita akan menjadi teman sekamar," Rinai tersenyum padanya—senyum hangat nan cemerlang yang nyaris tak pernah Lintang lihat sebelumnya. "Kau pasti lelah sekali. Perbuatan Jingga barusan jangan diambil hati, ya?"

"Uh ... terima kasih," Lintang meringis, menoleh sekilas pada Jingga yang masih mengawasi mereka. "Memangnya dia tidak akan marah padamu?"

Rinai tertawa renyah. "Tidak, tidak. Jingga sebetulnya tidak seburuk itu, kok. Dia cuma agak keras ... ditambah dia memang cukup protektif soal Ganesh." Ucapan Rinai terputus, mata bulatnya melebar. "Apa yang terjadi pada wajahmu?"

"O-oh, ini." Lintang tersenyum canggung. "Ceritanya panjang."

Seraut ekspresi iba terbentuk di wajah Rinai. "Aku memang masih belajar, tapi kemampuanku cukup mumpuni di sihir medis. Aku bisa menyembuhkannya kalau kau mau—"

"Tidak," seru Lintang ketus, lebih ketus dari yang dia niatkan. Begitu menyadari perubahan air muka Rinai, Lintang menggigit bibir. "Maafkan aku—maksudku, aku sangat menghargai pertolonganmu. Tapi ... tidak. Tidak usah."

Bagus. Aku baru saja kehilangan satu dari sangat sedikit teman di sini, batin Lintang geli.

Namun Rinai malah menyentil dahinya sendiri, meringis minta maaf. "Aku ini memang bodoh! Tentu saja kau pasti punya alasan sendiri. Seharusnya aku yang minta maaf, sudah tidak sopan bertanya macam-macam."

Burning Ashes (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang