Prolog

187 27 4
                                    

"They always said that death is coming closer, waiting for my heart and soul."
—Karyu Lakesta Eldridge

Terbunuhnya salah satu Royal Guardian memecah perang yang telah ditekan sekuat tenaga oleh Kerajaan Astakarr. Menghancurkan perjanjian damai antar dua kerajaan yang telah melakukan gencatan senjata selama ratusan tahun.

Tubuh tanpa nyawa bergelimpangan, tanah menjadi lautan darah dalam sekejap. Sedang burung pemakan bangkai berputar di udara, bersiap untuk menyantap makanan mereka.

Pangeran pertama kerajaan Astakarr kemudian memimpin serangan balasan, membuat bala tentara Kerajaan Keaton dilanda kengerian. Tiga ratus ribu jiwa dari pihak Kerajaan Keaton melayang di tangan militer Astakarr. Membuat sang raja bungkam dan menarik mundur bala tentara, serta tak berani mengusik Astakarr untuk sementara. Itulah harga yang harus dibayar setelah membunuh anggota penting Kerajaan Astakarr.

"Hee ... memangnya pangeran pertama Astakarr semenyeramkan itu?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan, membuatnya tertawa kecil, lantas ia mengangguk. "Kata sejarah begitu. Kharisma beliau sebagai putra mahkota di usia belia begitu menakjubkan."

"Memangnya dia umur berapa waktu itu?" tanyanya lagi—menumpukan dagu pada meja seraya menatap sang pemuda yang tengah duduk di atas ranjang; menggenggam buku sejarah dari negara mereka.

"Tercatat, beliau berumur lima belas ketika memimpin serangan balasan waktu itu." Helaan napas berat terdengar ketika ia menutup buku, kemudian meletakkannya pada meja di samping ranjang.

"Kamu suka sekali ya sama sejarah?"

Seulas senyum tipis terukir dari pemuda dengan nama Karyu Lakesta Eldridge yang terpampang pada ranjang pasien. Ia menatap sang gadis antusias dan mengangguk.

"Karena sejarah yang menyelamatkan kita. Sejarah yang mengingatkan akan jati diri kita. Selain itu, aku lebih tertarik belajar sejarah." Sesaat, tatapan nanar tampak pada binar matanya yang meredup. Dengan helaan napas, ia melanjutkan, "Jika umurku panjang, aku ingin melanjutkan kuliah di bidang sejarah, juga bekerja di bidang sejarah, Haya."

Senyuman yang sedari tadi terukir pada bibir gadis bernama Haya, perlahan luntur kala mendengar penuturan Karyu. Atmosfer dalam ruang putih dengan bau obat-obatan yang mengusik saraf olfaktori itu memberat. Suasana menjadi gelap, hingga rasa sesak mulai merasuki relung hati sang gadis.

"Karyu ..."

Seketika, ia mengurungkan niat untuk beranjak, tak bergeming dan memilih untuk tetap duduk, menatap Karyu yang kini memandang jendela kamar.

"Ah, lalu bagaimana dengan Inggris, Karyu? Apakah kamu rindu dengan kampung halamanmu?" Mengalihkan topik. Hanya itu yang dapat Haya pikirkan—menatap Karyu yang kini memaksakan untuk tersenyum.

Pemuda itu mengangguk samar. "Of course i missed the Great Britain. I was born and raised there, Haya. Orang tuaku bilang akan melanjutkan pengobatan di sana, semuanya masih diurus." Ia mengusap jemarinya dengan gusar. "Tapi aku tidak yakin umurku akan sepanjang itu. Mereka tidak peduli dan tetap bersikeras."

Haya terkesiap. Lagi-lagi, hal berbau kematian lah yang dibicarakan Karyu. Gadis itu tidak ingin mendengarnya. Mungkin terkesan egois, tapi ia baru saja menemukan kebahagiaan dalam kehidupan, bertemu dengan Karyu adalah suatu kebahagiaan bagi Haya.

"Karyu, ceritakan lagi kisah tentang Kerajaan Astakarr—" Haya menoleh untuk mendengarkan lebih banyak cerita. Namun, napasnya tercekat, ia memekik dan berdiri dari kursi dengan kalut. "Karyu?!"

Jantung sang gadis seakan berhenti ketika netranya menatap Karyu yang kini sedang menutup wajah dengan jemari, terlebih saat melihat darah menetes dari sela jemari tersebut. Netra cokelat sang pemuda berpendar kian redup ketika dia melirik pada Haya. Dengan napas tersengal, ia berkata.

"Maaf, please press the red button, hurry ..."

Dalam kepanikan, Haya menekan tombol darurat. Semua berlalu begitu cepat. Bahkan ketika Karyu mulai melepas jemarinya, dan jatuh tak sadarkan diri dengan napas tersengal hebat, Haya sama sekali tak bergerak. Seorang lelaki menariknya untuk menjauh dari ranjang Karyu kala tim dokter mulai bertindak.

Haya merasa hampa dan linglung. Tidak sampai sepuluh menit yang lalu setelah ia mendengar Karyu berceloteh panjang lebar tentang sejarah yang ia sukai, kini pemuda itu telah terbaring tak sadarkan diri dengan darah yang terus mengalir dari lubang hidungnya. Tekanan darah Karyu menurun pesat secara drastis.

Gadis itu gemetar. Ada kemungkinan bahwa kejadian ini terparah daripada kondisi Karyu sebelumnya, bahkan jika dikatakan menuntun pada kematian, bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi.

Apakah semuanya akan berakhir begitu saja? Mengenaskan seperti ini? Hei, Karyu Lakesta Eldridge?

Well, hello! Been a while, isn't it? Setelah semedi satu tahun aku kembali dengan cerita baru dengan main genre historical-fantasy, well, yeah, something like that

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Well, hello! Been a while, isn't it? Setelah semedi satu tahun aku kembali dengan cerita baru dengan main genre historical-fantasy, well, yeah, something like that ... Hope you like it!

(Re-Published)

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang