IV - abscheid

69 12 3
                                    

Matahari bersinar cukup terik meskipun dunia telah memasuki perputaran musim gugur. Bunyi klakson kapal terdengar nyaring, membuat Luke menoleh menatap kapal besar yang akan membawanya mengarungi samudera, menuju negeri jauh di timur sana.

Riuh para penumpang yang hendak menaiki kapal berdengung pada rungu. Banyak pula dari mereka yang berpelukan guna menyampaikan salam perpisahan. Tentu saja itu berlaku pada dirinya dan yang lain.

"Luke Leison Corsell, My Son." Kepalanya berganti menatap sumber suara. Pria yang hampir menginjak kepala empat itu tersenyum canggung. Salah satu lengan sang Duke merangkul sosok wanita yang telah menjadi istrinya selama ini, Duchess Yelsnia.

"Yes, Father." Senyuman tipis terbit di bibir Luke, menatap ayahnya yang biasa tampak jenaka ataupun serius kini terlihat sedih, seakan tak rela melihat kedua anaknya pergi begitu jauh.

Kepala keluarga Corsell itu menggeleng. "Tidak ... hanya saja, hati-hati, jangan terlalu memaksakan diri. May God and the Sword of Orpus protects you, My Son."

Setelah kalimat singkat tersebut, sang ibu lantas memeluk tubuh tinggi Luke. Membuat Luke sedikit tersentak sebelum akhirnya membalas pelukan.

"Ada kakakmu, Sir Raeden, Sir Morei, dan Sir Ladarius. Katakan pada mereka jika ada sesuatu yang mengganjal, jangan diam seperti yang sudah-sudah. Kamu akan berada di negeri orang, Nak."

Suara Yelsnia yang bergetar membuat Luke seketika mengeratkan pelukan. Ia merasa bersyukur, karena kehidupannya baik sebagai Karyu ataupun Luke, keduanya memiliki orang tua yang baik.

Setelah perbincangan singkat dan kecupan dari sang ibu yang menghujani wajah Luke, orang tuanya itu beralih pada Few. Beberapa kali sang ayah menjitak pelan putri sulungnya sembari sesekali tertawa. Seulas senyum terlukis pada bibir sang pemuda kala melihat penampilan dan interaksi kedua orang tuanya. Duke of Corsell itu bahkan masih mengenakan seragam militer khusus untuk menghadap ratu. Yang artinya, mereka bergegas ke pelabuhan di tengah kesibukan.

Guliran bola mata Luke terhenti kala sosok gadis yang tak ia sangka kedatangannya tampak. Rambut pirang dan cloak berwarna lembut miliknya dibuai oleh angin. Senyuman manis nan hangat yang mampu membuat seluruh masalah dalam hidup Luke luruh seketika.

"Elise ..."

Bergumam, tungkainya secara reflek melangkah untuk mendekat. Elise tersenyum lebar, lengan sang gadis segera memeluk erat tubuh Luke sesaat setelah jarak mereka hanya tersisa beberapa senti.

"Luke!"

Manis. Wangi manis yang menguar dari tubuh Elise membuat Luke enggan melepas pelukan. Ia ingin seperti ini lebih lama, karena mereka tak akan bertemu dalam waktu yang tidak sebentar.

"You looks pale, are you okay?" Melepas pelukan, jemari sang dara mengusap lembut wajah Luke, netranya menatap khawatir. Bagaimana heir keluarga Corsell itu tidak menaruh perasaan jikalau gadisnya semanis ini.

Sang adam hanya menjawab dengan gelengan. "Aku tidak apa." Bohong, Luke sudah merasakan kepalanya lebih sakit semenjak mereka turun dari kereta. Namun, ia memilih untuk bungkam sementara ini, tak ingin merusak momen. "Ngomong-ngomong, Elise, terima kasih karena sudah datang ke sini. Datang bersama siapa? Kukira kamu sedang sibuk belajar."

Suara tawa kecil terdengar. "Aku diantar pengawalku, bagaimana bisa aku tidak mengantar kepergian sahabat masa kecilku ini?" Elise tersenyum, kemudian kembali memeluk Luke sepihak.

Sahabat masa kecil ... begitulah hubungan Luke dan Elise. Meskipun Luke sangat mencintai Elise, gadis itu tak tahu akan perasaannya, dan Luke memutuskan untuk tidak memberi tahu Elise pula. Ikatan pertunangan yang dapat Luke ajukan pun diurungkan. Luke lebih memilih untuk menunda dan membiarkan Elise fokus dalam pendidikannya, lagipula, dirinya juga masih harus belajar banyak sebagai sosok penerus Duke.

In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang