[11] Tamu diundang.

177 50 31
                                    

Suara berisik dari televisi terdengar memenuhi ruang keluarga Wistara. Dua kakak adik itu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Juna sibuk mengelus bulu halus Jaru—kucing kesayangannya. Sementara Qyara sibuk rebahan dengan memainkan ponselnya.

Suara langkah kaki mendekati mereka pun tidak dihiraukan. Sehan meraih remote TV, mematikan saluran televisi yang menampilkan acara memasak sambil berbincang hangat.

"Kalo nggak ditonton, matiin aja. Hemat listrik," tegur Sehan pada kedua adiknya.

Hening! Tidak ada sahutan dari Qyara ataupun Juna. Sehan hanya bisa berdecak.

"Kalian nggak ada niatan mau mandi? Udah jam 11 loh ini," tegur Sehan lagi.

Sehan duduk di sofa panjang sebelah Qyara, menurunkan kaki Qyara yang dengan santainya di atas kepala sofa.

"Kakinya yang sopan, anak gadis," tegur Sehan memperingati. "Mata kamu udah diobati belum? Eye patch-nya jangan lupa diganti, Clei."

"Udah Clei obati, udah juga diganti. Lagian juga Clei udh mandi ya, Bang. Juna tuh yang mandi sehari doang."

"Lah? Suka-suka gue. Mau mandi setahun sekali pun nggak ada ruginya sama lo kan, Kak?"

"Habis nenggak bensin lo? Ngegas aja," cibir Qyara.

"Orang lo duluan nyepil gue! Gue kan—"

"Malah ribut. Udah sana kamu mandi, Juna."

"Nanti ajalah, Bang. Emang kita mau ke mana?" tanya Juna.

Sehan bangkit dari duduknya. "Mandi kok cuma mau pergi doang, sih, Jun." Cibiran Sehan tidak digubris Juna.

Sehan berjalan menuju kamarnya. Baru juga beberapa langkah, Sehan memutar tubuhnya menghadap ke tempat keberadaan Qyara dan Juna.
"Dek, kalo nanti ada tamu temen abang, ajak langsung ke kamar abang, ya," pesan Sehan pada kedua adiknya.

"Yang jelas dong, Bang. Adek mana nih yang dimaksud," sahut Qyara.

"Siapa aja deh, di antara kalian berdua. Yang merasa adek abang, kalo nggak ngerasa ya berarti uang jajan lewat."

Juna sontak berdiri mendengar ucapan Sehan. "Bang, Juna adek abang. Jangan dilewatkan uang jajan Juna, ya, Bang."

Sehan terkekeh sembari melangkahkan kakinya menuju tujuan awal. Qyara menepuk-nepuk sofa, memberi isyarat agar hewan berbulu putih yang berada di pangkuan Juna, berpindah ke tempatnya.

"Hei, Jaru ... Jaru. Sini, jaru."

Kucing itu bangkit dari tidurnya, telinganya menegak saat namanya dipanggil, mengibas-ibaskan ekor dan badannya. Melompat dari pangkuan Juna menuju Qyara, tapi tingkah Jaru membuat Qyara gemas sampai-sampai merasa ketar-ketir.

"Jangan digaruk, Jaru. Ini sofa mahal, habis duit jajan bapak lo nanti dipotong Bang Sehan."

Qyara hanya berdecak, mengumandangkan seruan. Namun, tidak mencegahnya. Jaru masih melanjutkan aksinya, mengasah kuku-kuku kecilnya menggaruk sandaran sofa. Juna bangkit dari duduknya, meraih tubuh Jaru ke dalam gendongannya.

"Sini, Njun. Bawa sini Jarunya," perintah Qyara menepuk perutnya. Rasanya malas sekali bagi Qyara untuk sekadar mengubah posisinya sedikit pun.

"Berdiri sih, lumpuh layu lo? Mageran banget jadi orang."

Juna mengomel, tetapi perintah Qyara tetap dia kerjakan juga. Dibawanya Jaru mendekat ke Qyara, meletakkan Jari di atas tubuh Qyara yang disambut Qyara dengan kekehan renyah.

"Ah, kamu kok lucu banget sih Jaru. Anak ganteng," ujar Qyara memeluk kucing berbulu putih bersih itu.

"Sembarangan! Dia princess ya, Kak. Kenapa pula jadi ganteng."

Ketua Geng Kelas SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang