[15] Maaf

215 48 55
                                    

Pernah merasakan hal ini? Saat liburan sekolah telah usai, rasanya tidak sabar ingin berangkat ke sekolah. Entah itu ingin cepat bertemu guru, teman, ibu kantin, satpam sekolah, penjaga perpustakaan atau ... gebetan.

Ya, gebetan. Sama halnya Qyara pagi ini. Sudah tidak sabar ingin cepat sampai ke sekolah. Rasanya, pedal gas mobil yang dikendarai Sehan ingin dia injak hingga bawah. Menerobos lampu merah, ngebut di jalanan Jakarta agar cepat sampai di sekolah. Sudah, tidak usah ditanyakan alasan Qyara. Tentu saja dia sudah tidak sabar bertemu dengan teman-teman dan ... Chagra.

Qyara menggigit bibir dalamnya saat gerbang tinggi Cendikia Luhur sudah bisa ditangkap netranya. Dengan tidak sabarannya Qyara membuka pintu, saat ban mobil baru hitungan kurang dari tiga menit berhenti di depan kawasan parkir.

"Clei," panggil Sehan.

Qyara mengurungkan niatnya, kembali berbalik menatap Sehan yang masih di kursi kemudi. "Ya, kenapa, Bang?"

"Buru-buru banget, mau ketemu siapa?" sindir Sehan.

"Mau ketemu temen lah, Bang. Mau nanyain pelajaran yang Qyara ketinggalan," kilah Qyara.

Sehan mengeluarkan dompet dari saku celana belakangnya, mengangsurkan dua lembar uang seratus ribuan. Selembar untuk Qyara dan satu lagi untuk Juna yang duduk di kursi belakang.

Qyara bingung dengan uang selembar merah di tangannya. Menoleh ke Juna yang menampilkan ekspresi hampir sama.

"Ini apa, Bang?" tanya Qyara.

"Uang bulanan kalian," jawab Sehan enteng.

"Uang jajan kami?" Mata Qyara membulat, tidak percaya dengan yang dia terima.

"Bang, nggak salah?" protes Juna.

Sehan menggeleng pelan, menahan gelak tawa. Sehan paling senang menggoda kedua adiknya jika sudah berurusan dengan uang jajan.

"Bang, Clei tahu Clei udah ngelakuin kesalahan. Maaf," cicitnya. "Nggak apa-apa uang jajan Clei dipotong. Ya, tapi nggak gini juga, Bang. Ini bukan lagi 10% dipotong, tapi udah hampir habis."

"Iya, Bang. Masa cepek ceng. Mana cukup buat jajan sebulan." Juna ikutan protes agar dapat—uang jajan—keadilan.

"Tahu dari mana kamu ini cepek ceng?" tanya Sehan mengeryitkan dahinya saat Juna menyebutkan uang seratus ribu dengan sebutan lain.

"Ko Aheng, dia yang ngajarin." Juna terkekeh.

Qyara menghentakkan kaki. "Bang, tolonglah ini. Batagor pakai telor di kantin udah naik, Bang. Belum lagi minuman bobba, kalo mau tambah topping nambah lagi harganya."

"Ya nggak usah minum bobba. Beli aja es jeruk. Biar hemat," usul Sehan yang tentu tidak bisa diterima langsung oleh Qyara.

"Bang! Es jeruk manis aja udah naik tujuh ribu. Ada noh, yang lima ribuan, es jeruk asem. Hemat kagak, kena malaria iya."

"Iya, Bang. Permen aja udah seribuan, nggak dapat lagi lima ratus. Belum lagi ciki kentang. Semua udah pada mahal, Bang."

Sehan tergelak, tidak bisa lagi menahan tawanya. "Kalau urusan jajan aja cepet. Belajar yang bener sana, baru protes uang jajan yang kurang."

Sehan menyimpan kembali dompetnya pada saku celana. "Banking abang lagi bermasalah, lagi abang urus. Jadi, uang jajan kalian abang kasih cash untuk hari ini. Nanti abang transfer kalo urusannya udah kelar."

"Oh, gitu. Ya ... maaf. Kita kan nggak tahu," ucap Qyara menyengir.

"Iya, Juna juga minta maaf, ya, Bang. Juna pikir Abang beneran motong uang jajan sampe segini. Kan yang ngelakuin kesalahan Kak Clei, bukan Juna."

Ketua Geng Kelas SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang