[6] 🏫 Penawaran

192 60 23
                                    

Qyara terus mengikuti langkah Chagra menuju mejanya di ruang guru, senyumnya tidak usah ditanya bagaimana. Sudah tentu berkembang, berputik, hingga berbuah. Saking bahagianya Qyara hanya dengan berjalan di belakang tubuh tegap Chagra.

Qyara menyimpan buku yang sejak tadi dia bawa pada meja Chagra. Qyara masih berdiri dengan gestur tubuh yang biasa ia tampilkan, tangannya bertautan di belakang. Netranya tak henti menatap gerak-gerik Chagra yang meraih tas kertas yang ia simpan di kolong meja, tentunya Qyara ingat dengan tas tersebut.

"Ini kotak bekal kamu, terima kasih."

Mata Qyara membesar, mulutnya menganga tidak percaya, saat mendapati kotak bekal yang tadi pagi berisi nasi goreng yang dia buat dengan 10% penyedap rasa dan 90% dengan cinta itu habis tidak bersisa.

"Bapak makan, kan? Bukan Bapak buang?" tanya Qyara memastikan.

"Saya kasih kucing! Saya tidak suka susu vanila. Saya suka susu pisang," jawab Chagra.

"Oh, jadi maksudnya besok Bapak mau aku bawain susu pisang, gitu?" celetuk Qyara menggoda guru matematikanya.

Mata Chagra terkesiap, mulutnya hampir saja menganga karena mendengar penuturan Qyara yang luar biasa berani terhadap gurunya.

"Besok sarapannya mau dibawain apa? Gimana kalau sandwich sama susu pisang?" tanya Qyara yang jelas tidak mendapatkan jawaban dari Chagra.

Qyara terkekeh, kepalanya membayangkan dia seperti seorang cewek yang sedang membawakan bekal sarapan untuk pacarnya.

"Kenapa kamu? Senyum-senyum sendiri."

Qyara mengulum senyumnya. "Nggak, Pak. Nggak ada apa-apa, kok." Qyara beralasan. Tidak mungkin kan dia memberi tahu apa yang dia pikirkan dalam kepalanya.

"Duduk," perintah Chagra.

"Hah? Gimana, Pak?"

"Kamu duduk. Ada yang mau saya bicarakan."

Qyara menarik kursi di depannya, memeluk papper bag di pangkuannya. "Mau ngomongi apa, Kak?"

"Saya guru kamu!"

"Eh, iya, maaf, Pak. Kelepasan mulu," kekeh Qyara.

Chagra berdeham sesaat. "Dua bulan lagi akan diadakan olimpiade matematika tahunan. Kamu tahu itu?"

"Tahu, Pak. Kenapa?"

"Dewan guru merekomendasikan kamu untuk mengikuti olimpiade matematika tahun ini, dan saya ditunjuk sebagai guru pembimbing kamu," terang Chagra tanpa basa basi lagi.

"T-tapi aku nggak mau ikutan, Pak. Kenapa harus aku? Aku rasa banyak murid Cendikia Luhur yang lebih dari aku," sanggah Qyara.

"Tapi sayang ...."

"Iya, kenapa Beb," potong Qyara cepat.

Chagra mengerutkan dahinya tidak mengerti maksud Qyara memotong ucapannya dan panggilan yang Qyara sebutkan. Ini anak didiamkan nginjak kepala. Pantas kakaknya nyerah.

"Jangan memotong jika orang belum selesai berbicara." Chagra sudah bersandar pada kursinya, tatapannya berubah serius.

"Tapi sayang belum ada murid Cendikia Luhur yang menguasai matematika seperti kamu," ulang Chagra perihal ucapannya yang sempat terjeda.

"Wait." Qyara mengarahkan telapak tangannya ke depan Chagra, memberi kode pada sang guru agar tidak melanjutkan ucapannya lagi. Mata Qyara melirik ke kanan atas sekilas seperti mencerna sesuatu dalam pikirannya.

Benar-benar, nggak ada sopan-sopannya ini anak! Bicara sama guru seperti bicara sama teman tongkrongan.

Qyara menarik napas kemudian mengembuskannya. "Kalau aku mau ikut di olimpiade itu, tadi Bapak bilang yang jadi guru pembimbing aku, Pak Agra?"

Ketua Geng Kelas SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang