Prolog

575 82 5
                                    

'Dear A. Ku tuliskan sebuah kisah tentang bagaimana aku mengagumimu dalam untaian kata. Mencintaimu dengan harapan semu. Mengabadikan namamu pada langit yang biru. Kisah yang cukup singkat untuk kau ingat di masa lalu, tapi untukku kau tak hanya sekadar kisah masa lalu."


••••

1 Januari 2023, Soekarno-hatta Airport

Pagi yang cukup cerah untuk mengawali hari pertama di tahun baru, seperti halnya menyambut musim semi setelah musim dingin datang. Matahari pagi ini seolah tengah menyambut tahun baru yang ceria, sinarnya begitu cerah, tapi tidak membakar kulit beberapa orang yang ada di luar sana.

Cuaca seperti ini yang membuat banyak orang merasa aman untuk mengudara, lihat saja bagaimana pesawat-pesawat di bandara ini take-off dan landing satu persatu. Menunjukkan betapa padatnya jalur udara di hari ini.

Untuk menyambut awal tahun, banyak orang yang memilih untuk pergi berlibur bersama keluarganya. Ada juga beberapa yang tidak libur untuk menjaga profesionalitas kerjanya. Seperti sosok pria tampan yang baru saja keluar dari arah pintu kedatangan, dirinya merayakan malam tahun baru di atas ketinggian 35000 kaki dari permukaan air laut. Mengudara selama delapan jam, tidak membuatnya menampakkan raut wajah lelah. Bibirnya terus menyungging senyum, menciptakan keindahan yang tidak bisa ditampik oleh para wanita yang ia lewati. Apalagi dengan seragamnya yang menunjukkan betapa gagahnya pria itu, koper yang ia seret dengan keyakinan penuh.

Kakinya berhenti melangkah, kala mata elangnya menyorot sosok wanita yang tengah berjongkok di hadapan bocah perempuan. "Jadi, jangan takut. Pak Pilot akan menerbangkan pesawat dengan sangat hati-hati, kau tahu bahwa Pak Pilot selalu membawa tanggung jawab besar atas keselamatan seluruh penumpangnya. Dan si cantik ini, tidak perlu khawatir. Atau Pak Pilot akan merasa sedih karena kamu tidak percaya terhadapnya."

"Aku akan percaya pada Pak Pilot, aku tidak mau Pak Pilot merasa sedih. Aku tidak takut lagi, Mama." Bocah perempuan itu mendongak menatap sang ibu, tersenyum sembari mengusap sisa air matanya.

Wanita yang digandeng oleh anak itu tersenyum lembut, lalu matanya menyorot wanita yang sudah berhasil membujuk anak perempuannya. "Terimakasih, Nona. Sudah membantuku membujuknya, ini adalah pertama kalinya dirinya naik pesawat sejak berita kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu. Kita pamit pergi dahulu."

"Itu bukan masalah, wajar jika dia merasa takut. Safe flight..." Wanita itu berdiri, mengusap rambut bocah perempuan itu dengan lembut. Tangannya melambai dengan senyum simpul mengantar kepergian ibu dan anak itu, berharap penerbangan mereka akan sampai pada tujuan dengan aman.

Dering ponsel terdengar cukup nyaring kala wanita cantik itu masih terdiam sembari melambaikan tangannya. Dengan cekatan dirinya mengangkat panggilan telepon dari seseorang pria yang sangat hobi mengomel, bosnya. Dia harus segera kembali ke restoran, sebelum sang bos memberikan ultimatum andalannya. Pria bertubuh gempal itu kerap kali mengancam akan memotong gaji jika wanita cantik itu tidak cekatan, kenapa tidak memperkerjakan kijang Thomson saja untuk bagian pesan antar makanan, lumayan hewan itu dikenal mampu berlari dengan kecepatan mencapai 80 km/jam, kan.

Mau tidak mau, wanita itu berlari meninggalkan area bandara setelah mengantar pesanan. Meninggalkan sosok pria yang masih terpaku, membeku sembari menyorot tubuh wanita pekerja resto yang lari dengan gesit meninggalkan area bandara.

Pria itu meraih dompet cokelat miliknya, menatap foto yang ada di dalam dompet itu. Foto dari sosok lama yang sudah hilang, meninggalkan pria yang kini hanya bisa memupuk rindu tentang kenangan kelabu. Sosok yang ia rindukan sejak beberapa tahun lamanya.

Dikala dirinya mengudara di ketinggian puluhan ribu kaki, membawa tanggung jawab besar akan keselamatan penumpangnya. Hanya ada satu pertanyaan,
"Apakah kita, masih diijinkan untuk berada di garis takdir yang sama?"

***

"Mama!!!"

Wanita cantik yang tengah menenteng keranjang itu mengukir senyum, berjongkok lalu melebarkan tangannya untuk menyambut sosok kecil yang berlari ke arahnya. Sore hari memang waktu yang paling ia tunggu, mendekap tubuh kecil ini membuatnya kehilangan rasa penat. Tubuhnya kembali bersemangat setelah seharian bekerja.

"Alfa tidak nakal, kan?" Wanita itu mengusap peluh di dahi anaknya, bocah laki-laki itu memang terkenal sangat aktif. Untung saja jaman sekarang sudah ada Day Care, tempat untuk menitipkan anak-anak kala orang tuanya bekerja. Bagi ibu tunggal sepertinya, lembaga seperti itu sangat membantu. Dirinya lebih tenang kala bekerja.

"Aku tidak nakal, Mama bilang aku tidak boleh nakal. Maka aku tidak nakal." Bocah itu mendongak menatap sang ibu.

Wanita cantik itu menggedong putranya, mengecup pipi bocah itu berkali-kali lalu berpamitan pada petugas di sana untuk pulang.

"Alfa mau Mama masakkan apa untuk makan malam?" Tanya sang ibu dengan lembut.

"Apa saja!!! Masakan Mama semuanya, Alfa suka!!!" Anak kecil itu tampak bersemangat. Giginya yang ompong itu membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Kegembiraan memang selalu menyelimuti wanita itu kala bocah kecil yang ia beri nama Alfa sepuluh tahun lalu mengembangkan senyum. Tujuan hidupnya berubah seketika, jika dahulu ia menginginkan menjadi pramugari yang mengudara dengan burung besi. Namun sejak Tuhan memberikan Alfa kepadanya, maka sejak itu ia tidak lagi menginginkan menjadi pramugari. Ia hanya ingin, Alfa tidak menjadi seperti dirinya di waktu kecil. Berusaha sepenuh tenaga untuk menjadi sosok ibu dan juga ayah di waktu bersamaan.

Air matanya menetes, kala malam sudah tiba. Kala cahaya rembulan masuk melalui celah jendela kontrakannya. Bocah kecil yang sudah tertidur lelap setelah menyelesaikan makan malamnya. Tangannya meraih buku album SMA Harapan, buku yang menyimpan wajah dari sosok yang menorehkan luka pada kehidupannya.

Dibukanya buku itu, bibirnya mengukir senyum. Andai orang itu tahu, betapa menyedihkannya dia selama sebelas tahun ini. Andaikan orang itu tahu, bahwa anaknya sudah tumbuh menjadi bocah yang pintar. Andai, orang itu pernah mencintainya bahkan hanya sedetik saja.

Pada dasarnya, Alfa bukanlah aib tapi sebuah anugrah dari Tuhan untuknya.

Ini adalah kisah Siera, wanita yang hidup dalam kepahitan, kesepian, dengan luka gores yang dalam dari masa lampau yang masih enggan mengering. Namun wanita itu, berusaha baik-baik saja di hadapan sosok kecil yang menjadi alasannya tersenyum.

DEAR A.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang