Tokyo - Miyagi.
November, tahun ke-tiga..
.
.PAGI tadi, bahkan sebelum mentari menyapa, dia mengirimku pesan.
Aku yang sudah terbangun dari mimpi burukku semalam, membuatku tersadar dengan getaran dari ponselku yang terbaring nyaman di atas meja mahoni hitam.
Tangan kananku membantuku untuk meneguk minum agar diri tertenangkan. Sedangkan tangan kiri, berusaha mencabut ponsel yang masih terhubung dengan kabel pengisi daya.
Jari-jariku bergerak lincah untuk membuka sandi yang sejak dua tahun lalu kugunakan. Melihat notifikasi hijau di bar atas ponselku, membuatku bertanya-tanya, siapa yang mengirim pesan di pagi buta seperti ini?
Aku menggeser ke bawah layar ponselku, atensiku seketika terpusatkan oleh namanya yang menggelantung di kolom notifikasi. Seulas senyum terlukis dari buah bibirku. Apa dia merasakan apa yang aku rasakan saat ini? Mungkinkah dia berniat menghiburku dari mimpi buruk itu?
Aku tertawa pelan menyadari kebodohan dari khayalanku. Setelah menepis jauh pertanyaanku, aku membuka pesannya, berlanjut hingga membacanya.
| Hei! Apa ada waktu?
(03.26)Tanda centang biru di aplikasi pesan yang kami gunakan sejak lama tak dia aktifkan, statusku yang membaca pesannya tak mungkin dia ketahui. Hanya saja, tanda online yang berada di bawah namaku mungkin saja dapat dia baca.
Segera aku menekan tombol segitiga yang berada di bagian tengah bawah ponselku, menuju halaman utama agar tak lagi ada kata online yang menyertai di kontakku.
Setidaknya aku perlu waktu sepuluh menit untuk memikirkan balasan yang harus aku berikan padanya.
Dia memang sulit untuk ku tebak, tapi kali ini aku mengerti, maksud dari pesan yang dia buat untukku. Pernah sekali dia mengirim pesan seperti itu, kupikir dia memiliki maksud lain, hingga aku membalasnya dengan kalimat; 'Ada, mau apa?'
Tak lama, dia menelponku, mengajakku untuk keluar bersamanya. Sungguh, saat itu kupikir dia ingin bercerita, atau bertanya hal yang dapat menyita cukup banyak waktu di dalam aplikasi chat. Tapi ternyata, dia menginginkanku menemaninya membaca buku di perpustakaan. Padahal saat itu aku akan latihan voli. Terpaksa, aku absen di hari itu.
Hari ini aku harus berlatih tanding dengan beberapa SMA di Prefektur Miyagi. Rasanya mustahil jika aku absen dari sana untuk mengikuti keinginan dia.
Tapi aku juga merasa enggan untuk menolak permintaan dia. Aku selalu merepotkannya, dengan berbagai macam luapan perasaan atau pertanyaan yang berhinggap di otakku. Tak jarang, aku selalu meminta bantuannya, untuk menemaiku ke suatu tempat.
Sekali pun, dia tak pernah menolak permintaanku.
Argh-!
Aku membanting tubuhku pada futon yang terhampar. Bantal malang yang membantuku tidur menjadi sasaran empuk dari kepalan tangan yang berkali-kali kuhempaskan.
Ah, aku dilema.
Selain karena dia yang sering membantuku, dia juga sangat jarang meminta tolong padaku. Aku ingin membantunya. Tapi ....
"Sialan-! Kenapa harus disaat seperti ini?!"
Gumpalan busa yang terbalut kain putih itu kubanting, berakhir dengan suara ringan yang mengisi ruang tidurku.
Aku menengadah, gigiku mengigit bibir hingga berkali-kali.
Drrttt...
Ponselku kembali bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pergi || Kuroo Tetsurou
Hayran Kurgu"Seandainya..." Satu kata itu menjadi pelengkap pasti akan kalimat yang terus berhinggapan dalam benak Kuroo Tetsurou. Pemuda itu tahu, kata tersebut sangatlah tak berguna. Tak juga dapat membuat waktu berputar sehari ke belakang sesuai dengan keing...