sepuluh

110 25 8
                                    

Minggu pagi ini gue ada di boncengannya Hendery lagi. Gak terlalu pagi sih, kira-kira sekarang jam 10 an lebih. Dia ngajak gue buat nongkrong di chatime.

"Turun," katanya sesaat setelah motornya terparkir di parkiran. Gue pun nurut sambil ngelepas helm dari kepala.

Hendery sendiri masih sibuk benerin rambutnya di kaca spion. Gak lama dia narik tangan gue buat masuk ke dalam.

"Mau rasa apa?"

"Samain aja."

"Samain sama siapa?"

Gue berdecak dan natap Hendery malas. "Ya sama maneh lah, emangnya sama siapa lagi."

Dia ketawa kecil. "Kirain mau samain sama Teteh yang di belakang kita."

Ngaco.

Setelah selesai pesen, gue pilih tempat duduk yang di deket jendela. Hendery pun ngambil tempat duduk di depan gue.

Mood gue dari kemarin jelek banget. Kalau aja anak bapak Gumilang ini gak maksa gue sama sogokan chatime mungkin gue masih dengerin playlist galau di spotify.

Gue menatap tangan Hendery yang tengah memainkan buku-buku jari gue di atas meja. Kebiasaannya kalau lagi nunggu pesenan datang. Tanpa sadar gue beralih natap ke mata Hendery.

Kemarin malam gue mendadak jadi pendiem. Bahkan film horor yang buat Lucas ngejengkang kaget aja gue gak fokus.

Pikiran gue cuman tertuju pada satu hal, Hendery.

"Liatin gue terus, bogoh?" ternyata daritadi Hendery balik natap gue dan gue gak sadar. Refleks gue mukul punggung tangannya.

"Der," panggil gue.

"Hm?"

"Lo tau semuanya 'kan?"

Hendery masang muka bingungnya. "Maksud?"

"Gue baru ngerti suruhan lo yang kemarin-kemarin. Sebenernya A Winwin tuh udah ada pacar 'kan? Dan lo tau siapa orangnya."

Perlahan Hendery nundukin kepalanya menatap ke bawah. Gue ketawa hambar.

"Jadi bener?"

Anggukkan dari Hendery buat dada gue sesak. Kalau gitu kenapa gak kasih tau gue dari awal. Gue dengan segala kegeerannya ngira kalau selama ini orang yang ditaksir A Winwin itu gue, padahal orang lain. Sumpah malu banget.

"Pesanan atas nama Teh Anoy?"

Suara Teteh-teteh chatime buat Hendery berdiri dan nyamperin ke sana. Lalu balik lagi dan nyimpen 2 chatime tersebut di atas meja tanpa ada niatan buat duduk lagi.

"Dia udah dateng, gue tunggu di depan aja ya." tanpa nunggu respon dari gue Hendery pergi gitu aja keluar. Bersamaan dengan itu, orang yang pengen gue hindari masuk dan melangkah menuju meja gue.

Jadi dia yang dimaksud Hendery itu A Winwin?

"Hai Anaya," sapanya pelan dan ngambil duduk di kursi yang Hendery duduki tadi sebelumnya.

"Hai."

Canggung, itulah yang terjadi sekarang. Gue bingung harus gimana sementara A Winwin gak kunjung bicara.

"Ekhem." deheman nya buat gue melirik sebentar ke matanya, lalu nunduk lagi.

"Aku rasa kamu paham kenapa aku kesini sama nyamperin kamu mau ngapain," katanya, kedua tangannya dia letakkin di atas meja.

"Semalam Aheng telfon aku, jam sepuluh gitu kalau gak salah? Iya, kira-kira jam segituan lah." A Winwin tiba-tiba cerita, mau gak mau gue mendongak dan menyimaknya.

"Dia bilang, 'maneh waras teu? bogoh ka Teh Zara tapi ngadeukeutan adi na ongkoh?' "  katanya seakan niruin nada bicara Hendery di telfon malam itu. Diem-diem gue tersenyum miris, denger langsung segini dari mulutnya aja sakit banget.

"Pokoknya dia marah-marah karena aku seakan ngasih harapan ke kamu."

Iya, emang.

"Anaya, maaf ya?" ucapnya dengan tangan yang memegang bahu gue sebelah.

Gue meremat jari-jari tangan di bawah meja.

"Aku bener-bener gak ada maksud apa-apa sama kamu. Aku cuman mau kamu seneng dan ngerasa deket karena aku pacar Zara, tapi aku malah buat kamu suka sama aku."

Mata gue mulai memanas. Salah satu kenyataan pait yang gue terima di umur 18 tahun ini. Soal percintaan tuh emang tai banget ya.

"Tolong jangan marah sama Zara, dia gak tau soal ini."

Gue tersenyum kecil lalu ngangguk pelan untuk permintaan nya tadi. Lagian Teh Zara yang harusnya marah sama gue.

"Sebenernya ya, A. Aku sekarang lagi malu banget." gue mencoba untuk buka suara sambil menatap ke arah matanya.

"Ngira semua perlakuan A Winwin ke aku itu sebagai bentuk rasa suka, padahal saat itu cuman aku yang begitu. Aku yang kegeeran."

A Winwin ngangguk ngerti. "Gapapa, aku minta maaf juga soal itu."

Dengan cepat gue menggeleng. "Enggak. Justru aku seneng karena bisa ngerasain dipeduliin sama cowok yang aku suka. Jangan minta maaf soal yang itu."

Bibir bagian dalam gue gigit kuat-kuat. Nahan nangis di tempat umum itu ternyata sesakit ini ya. 

"Kita... masih bisa temenan 'kan?"

"Iya, kenapa enggak?"

A Winwin berdiri dan pindah untuk duduk di sebelah gue. Dia ngerentangin kedua tangannya di samping gue.

"Aku cuman pengen meluk kamu sebagai adik dari pacar aku, gak lebih," katanya.

Lantas gue menubrukan tubuh gue padanya. Memeluk punggung A Winwin dengan erat juga menangis dalam diam di depan dadanya. 

"Jangan bilang sama Teh Zara ya kalau aku peluk A Winwin."

A Winwin ketawa kecil. "Hahaha. Iya enggak," katanya sambil tangannya mengelus punggung gue pelan.

Dan begitulah kisah gue beberapa minggu terakhir ini sama A Winwin. Perlakuan manis yang gue terima di awal dari dia ternyata punya kebenaran pahit yang gue terima di akhir.


-Fin-





eits, ntar malem gw up satu chapter lgi kok biar lebih jelas😀

anaya right now:

anaya right now:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
bittersweet of winwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang