11. The other side of Gisel

279 57 22
                                    

AN : Ayo penuhin setiap paragraf pakai komentar kalian! Tinggalkan jejak yaa❤

•••

GISEL berjalan menuruni anak tangga dengan pakaian rumahan yang simple. Celana hotpants tak lupa atasan kaus crop polos berwarna putih. Ia memutuskan untuk pergi ke arah dapur dan mengambil segelas air putih, tangan kanannya mengucek mata indahnya yang masih mengantuk.

Foto keluarga yang tertempel di dinding mencuri perhatian Gisel. Sorot matanya berubah menjadi sendu ketika kilasan memori lama tentang keluarganya datang. Gisel sebagai anak tunggal sedang merindukan keluarganya. Rumah mewah yang harusnya ramai akan keharmonisan kini, sepi senyap hanya ada dirinya di sini.

Di mana sang Ayah? Bersama keluarga barunya.

FLASHBACK ON.

2 tahun yang lalu.

Prang! Prang!

Suara pecahan piring membuat Gisel keluar dari kamarnya. Menatap ke arah lantai bawah dengan helaan napas, ia memutar bola matanya malas. Menandakan bahwa dirinya cukup muak mendengar perkelahian antara kedua orang tuanya.

"Gisel anak siapa saya tanya?!" Seorang lelaki menaikkan nada bicaranya dengan penuh amarah.

Gisel menegakkan kepalanya ketika namanya disebut. Keningnya mengerut menandakan bahwa dirinya bingung mengapa Papa menanyakan hal itu.

"A-anak kamu." Suara terbata-bata keluar dari mulut wanita yang sudah menangis sedu dari tadi.

Lelaki itu mencengkram pipi wanita itu cukup kuat. "Anak saya? Berani sekali kamu berkata seperti itu! Bahkan sejak awal kita menikah, kamu sudah hamil entah anak siapa. Tidak ada keturunan saya di sini!"

Seperti tersambar petir di siang bolong. Gisel mencengkram pembatas yang berada di lantai dua. Perlahan air matanya menetes dari mata kiri kemudian disusul dengan mata kanannya. Hatinya pecah ketika sang Papa mengatakan sebuah kebenaran yang sangat menyakitkan baginya.

Untuk pertama kali, hatinya pecah karena permasalahan keluarga. Hati yang ia jaga karena tidak ingin merasakan sakitnya hati yang patah. Namun, gagal hanya karena mendengar perkataan tadi.

Benar adanya, bahwa tidak semua kebenaran itu indah. Justru kebenaran itu lebih menyakitkan. Jika Gisel bisa memilih, ia ingin memutar waktu agar tidak mendengar Papanya berkata seperti tadi.

FLASHBACK OFF.

Gisel mengusap air matanya dengan kasar. Ia duduk di kursi dapur seraya memainkan gelas yang isinya tinggal setengah.

Ting!

Suara notifikasi dari ponsel mengalihkan perhatian Gisel. Matanya beralih menatap layar ponsel yang menampilkan bubble chat dari Bunda Ara.

Tante Ara : Pagi, Cantik. Ada makanan di rumah? Tante masak agak banyakan nih, bisa ambil ke rumah? Sekalian aja makan di sini ya. Gisel mau Tante bikinin apa? Kue red velvet kesukaan kamu masih?

Gisel tersenyum haru ketika membaca pesan dari Ara. Ia merasakan bahwa Ara seperti ibu kandungnya sendiri, aura keibuan Ara membuat Gisel terasa dekat dengan sosok ibu.

Gisel : Pagi juga, Tan. Iya, Tante nanti Gisel ke rumah. Makasih Tante, jangan repot-repot bikin kue buat Gisel. Kue bikinan Tante yang semalem masih ada di kulkas.

Tante Ara : Loh kok belum habis, Sayang? Nggak suka yaa? Mau Tante bikinin lagi?

Gisel : Enak kok, Tan kuenya. Cuma Gisel makan dikit-dikit hehe. Makasih, Tante Ara buat kuenya. Gisel suka.

UNFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang