Twenty Nine

4.3K 588 69
                                    

E T E R N I T Y

Bakugou meringis. Ia memegang lengannya yang berdenyut dan nyeri akibat serangan musuh. Hanya ada satu sensasi yang ia rasakan. Sakit. Sekujur tubuhnya menjerit ngilu setelah berulang kali menghantam tanah dan puing bangunan, terutama sisi perutnya yang masih belum berhenti mengeluarkan darah.

Iris merahnya mengamati sekitar. Sudut kota yang beberapa jam lalu masih penuh dengan keramaian mengingat musim semi telah tiba, kini penuh dengan asap dan reruntuhan bangunan. Beberapa rekannya sibuk mengevakuasi warga sipil sementara yang lainnya memberi bantuan di tempat kejadian lain. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Todoroki yang berusaha untuk menjaga keseimbangannya dengan bersandar pada puing, juga Deku yang duduk sambil menahan sakit. Bakugou mendengus kecil mendapati lengan pria berambut hijau itu membiru.

Si bodoh itu menghancurkan lengannya lagi.

Berdiri di hadapan mereka adalah villain pertama yang membuatnya babak belur setelah beberapa tahun sejak terakhir kali ia berhadapan dengan Shigaraki. Masih belum ada data yang konkrit mengenai kriminal yang satu ini. Dari pertarungannya, Bakugou mengambil kesimpulan bahwa bakat penjahat ini adalah memanipulasi DNA-nya pada benda yang ia pegang sesuai dengan keinginannya, artinya semua benda yang ia sentuh dapat bergerak bahkan hancur sesuai kehendaknya.

Seolah masih belum cukup, ia dan komplotannya melakukan serangan pada kota secara bersamaan. Para agensi sibuk mengkoordinasikan bantuan, namun hanya mereka bertiga yang ditugaskan untuk berhadapan dengan bajingan ini. Bakugou berdecak kasar melihat seringai penuh kemenangan tampak di wajah villain tak bernama walau tubuhnya masih terjebak dalam penjara es.

"Oi, Shouto! Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku," dengan kaki limpang, Bakugou mendekati kedua rekannya. Todoroki melempar tatapan bingung. "Bakar lukaku."

"K-Kacchan, kurasa itu bukan ide yang bagus," cicit Deku setengah meringis. "Kau mungkin tidak merasakannya sekarang, tapi jika memperhitungkan efek dari luka bakar pada sarafmu juga mengingat bahwa kita dapat bergerak karena adrenalin, kau bisa-"

"Tutup mulutmu Deku!" sergah Bakugou. "Kau lihat wajahnya kan? Itu bukan wajah orang yang sudah menyerah. Ia masih belum kalah dan aku akan menghabisi keparat itu sebelum ia mampu bergerak."

"Lalu apa idemu? Kau tau kita tidak bisa menyerangnya dari jarak dekat," api mulai menjalari tangan Todoroki, siap melaksanakan ide nekat Bakugou jika memang diperlukan.

"Kekuatannya bergantung pada tangannya, ia selalu menyentuh sesuatu sebelum menyerang. Yang harus kita lakukan adalah mencegah tangannya untuk mengeluarkan quirk lagi. Aku ingin kau melepaskan penjara esmu saat aku menyerangnya dengan kekuatan penuh, mengerti?" Bakugou melihat Todoroki dan Deku bergantian. Ia tahu ada banyak celah pada rencana nekatnya, namun sampai bantuan datang hanya ini yang bisa ia pikirkan.

"Shouto bisa membantu menambah elemen apinya saat kita mengarahkannya pada suatu titik, sel yang terkarbonasi tidak bisa pulih. Ide bagus Kacchan, aku akan membantumu," seru Deku seraya berusaha berdiri, namun Bakugou memaksanya untuk diam.

"Dengan kaki seperti itu," Bakugou mengisyaratkan kaki Deku yang membiru dengan besi panjang menusuk tendon. "Kau hanya beban bagiku. Diam dan perhatikan bagaimana pahlawan beraksi, Deku."

Ia tidak mendengar protes Deku saat Todoroki langsung membakar lukanya, menghentikan pendarahan pada perutnya. Bakugou menggigit bibir, menolak berteriak walau rasanya ia hampir pingsan dengan rasa sakit yang tubuhnya tanggung. Saat Todoroki mengangkat tangannya dan memberi isyarat kalau ia sudah siap, sudut matanya melirik Deku yang memandangnya dengan mata berkaca-kaca seolah paham apa yang ia coba lakukan.

Ground Zero's PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang