Twenty Four

5.2K 665 14
                                    

Hubungan [Name] dan Bakugou sudah berlangsung selama lebih dari lima tahun dan masih terus berlanjut. Seharusnya, mereka sudah saling memahami karakter dan kebiasaan masing-masing, tapi tetap saja terkadang [Name] tidak bisa menoleransi kebiasaan Bakugou yang terlalu hanyut dalam pekerjaannya hingga seringkali melupakan keadaannya sendiri.

[Name] sudah berusaha mengingatkannya, sungguh, tapi Si keras kepala itu malah mengabaikannya dan tidak mengindahkan suruhannya. Ditambah dengan perasaan kesepiannya karena sudah dua minggu sejak terakhir kali mereka dapat mengobrol santai, [Name] meledak.

“Aku tidak masalah kau mengabaikanku selama dua minggu terakhir, Katsuki. Sama sekali tidak keberatan, tapi pikirkan tentang dirimu sendiri. Aku hampir tidak pernah melihatmu makan dan kau juga jarang beristirahat. Mau sampai kapan seperti ini, hah? Mau sampai kapan!?”

Bakugou melirik tajam. Bibirnya memberengut, tidak suka dengan nada tinggi [Name]. “Aku harus menangkap villain ini sebelum mereka berulah, [Name]. Sebelum ada korban berjatuhan karena aku tidak cukup cepat meringkusnya.”

“Tapi bukan berarti kau bisa mengabaikan kesehatanmu. Kau bisa tumbang jika seperti ini terus, Katsuki,” tukas [Name].

Sejujurnya, punggung [Name] meremang mendengar suara Bakugou. Tidak seperti biasanya, nada Bakugou terdengar tenang dan dingin namun tidak mengurangi intensitas kemarahannya. Pada saat seperti ini, [Name] mengasihani para villain yang harus berhadapan dengan Bakugou versi tenang. Ia ingin sekali mengalah, tidak terbiasa menjadi sasaran tatapan tajam tunangannya, tetapi jika tidak diingatkan dengan tegas Bakugou akan meneruskan kebiasaan buruknya.

“Kau berpikir kalau villain itu mampu mengalahkanku, hah?” papar Bakugou. “Kau berpikir aku akan tumbang hanya dengan ini? Jika ini caramu cemburu dengan pekerjaanku, sebaiknya hentikan berpura-pura peduli padaku. Memuakkan.”

Napasnya tercekat tak percaya. Ia tidak menyangka Bakugou akan mengatakan sesuatu yang begitu menyakitkan seperti ini. Sejak kapan ia hanya berpura-pura peduli? Apa Bakugou selalu menganggap kepeduliannya hanya sandiwara? Terlalu. Ucapannya sudah keterlaluan.

“Baiklah,” putus [Name]. Tinjunya mengepal kuat sebagai cara untuk memadamkan emosi yang mencapai ubun-ubun. “Baiklah Katsuki. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku tidak akan ‘berpura-pura’ peduli padamu lagi.”

[Name] menekankan kata ‘berpura-pura’, mencibir Bakugou yang tampak tidak terpengaruh. Setelah menarik napas panjang, [Name] berbalik menjauhi Bakugou. Dimana saja, asal tidak bertemu tunangannya untuk sementara waktu.

Pertengkaran itu terjadi lima hari yang lalu. Setelah kejadian itu, [Name] tidak lagi bicara dengan Bakugou. Ia mengurung diri di kamar saat Bakugou pulang dan tidur memunggunginya. Tidak ada lagi sapaan pagi dan ucapan selamat tidur ketika malam. Mereka juga tidak makan bersama dan [Name] memilih untuk menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Singkatnya, tidak ada interaksi antara [Name] dan Bakugou untuk lima hari belakangan.

[Name] tidak betah dengan kebiasaan barunya. Ia ingin bicara dengan Bakugou, ia ingin mendengar cerita Bakugou saat bekerja menjadi hero, bahkan ia ingin mendengar tunangannya menggerutu saat bercerita tentang rekan dan teman-temannya. Ia tidak peduli jika Bakugou yang salah, toh ia juga memancing amarah pria itu. Untuk meminta maaf, [Name] sudah menyiapkan kare super pedas kesukaan Bakugou.

Namun, ia harus menelan kekecewaan saat melihat catatan yang menempel di lemari pendingin ketika pulang dari patroli.

Aku ada tugas di Kyoto selama lima hari. Sudah kuberitahu padamu seminggu yang lalu tapi kurasa kau lupa, dasar idiot. Ada puding cokelat dan makanan kesukaanmu di kulkas. Makan yang banyak, bodoh.

Senyum terulas di wajah [Name]. Ini adalah cara Bakugou meminta maaf atas pertengkaran mereka. Yah, walaupun ia tidak bisa bertemu dengan tunangannya untuk lima hari ke depan, setidaknya [Name] tahu Bakugou sudah tidak marah lagi padanya.

[Name] buru-buru mengambil ponselnya dan mengirim pesan. Jaga dirimu baik-baik di Kyoto. Terima kasih pudingnya. Aku menyayangimu, Katsuki.

***

Ini sudah hari kedua sejak kepergian Bakugou dan [Name] masih belum bisa memejamkan mata.
Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Bakugou disampingnya. Keberadaannya memberikan kehangatan dan berada di sisinya membuat [Name] merasa aman. Sendirian di kasurnya, [Name] merasa aneh dengan absennya tubuh hangat yang biasa merengkuhnya.

[Name] meraih ponselnya. Ia mendesah kecewa mendapati pesannya masih belum dibaca oleh Bakugou. Boro-boro mengharapkan telepon masuk, ingat untuk membaca pesannya saja tidak. Tapi [Name] tidak bisa menahan keinginannya untuk mendengar suara Bakugou setelah berhari-hari tidak saling bicara.

[Name] memainkan cincin di jari manisnya, merenung apakah ia harus menelpon Bakugou atau tidak. Namun, mengingat jam menunjukkan pukul dua, [Name] bimbang. Bakugou pasti sudah tidur. Hanya ada satu cara untuk memastikannya.

“Halo [Name]? Kenapa menelpon malam-malam begini?”

Sebagian kecil dari [Name] merasa bersalah saat Kirishima mengangkat telepon dengan suara serak. “Maaf Kirishima, apa aku membangunkanmu?”

“Tidak, tidak,” bohong. Jelas sekali Kirishima tengah menguap. “Ada apa [Name]?”

[Name] bergeming, menimbang baik-buruknya mengakui isi pikirannya pada Kirishima. “Apa Katsuki sudah tidur?”

“Bakugou? sebentar,” untuk sesaat hanya terdengar suara selimut disibak dan langkah kaki samar. “Tidak. Bakugou tidak berada di tempat tidurnya.”

“Kau pergi ke kamarnya?”

“Tidak [Name], aku dan Bakugou satu kamar. Lebih efisien kalau ada keadaan darurat,” jawab Kirishima sambil menguap. “Aku sudah mendengar ceritanya dari Bakugou. Kurasa kau harus menelponnya [Name]. Kutebak ia masih mengerjakan tugasnya di ruang rapat.”

“Masih diruang rapat? Apa yang ia kerjakan selarut ini?” tanya [Name] khawatir. Kebiasaan tidur Bakugou memang agak berantakan belakangan ini, tapi pria itu tidak akan terjaga selarut ini.

“Ia tidak beranjak dari tempat itu selama dua hari ini,” cerita Kirishima. Ia terkekeh geli. “Astaga, kalian berdua sama-sama keras kepala. Kau menelponku selarut ini hanya untuk memastikan keadaannya sementara Bakugou tidak berhenti bekerja untuk melacak villain dan menangkapnya sesegera mungkin agar bisa pulang lebih cepat untuk bertemu denganmu.”

“Katsuki tidak berhenti bekerja? Untuk menemuiku?” tanya [Name] tidak percaya. Apakah Bakugou benar-benar memikirkannya?

“Aku tidak bisa memikirkan alasan lain ia bekerja begitu keras dan begadang selama dua hari. Kurasa ia satu-satunya orang yang belum istirahat sejak tiba. Orang-orang memanggilnya hebat dan menganggap hanya Ground Zero yang sanggup bekerja sekeras ini,” kata Kirishima. Ia menguap untuk yang ketiga kalinya. “Baiklah [Name]. Aku masih butuh tidur, tidak seperti tunanganmu. Telepon dia kalau kau ingin bicara padanya. Aku yakin ia akan meluangkan waktu untukmu.”

“Selamat malam Kirishima,” gumam [Name] sebelum memutuskan sambungan telepon. “Terima kasih.”

[Name] menggenggam ponselnya khawatir. Bakugou belum istirahat sejak tiba di sana? Kenapa sih pria itu suka memaksakan diri? Apa ia tidak tahu betapa pentingnya untuk istirahat. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya karena ia terlalu keras kepala? [Name] mendecak sebal lalu membuka ruang pesan Bakugou.
Apa kau sibuk sekarang? Kudengar dari Kirishima kau belum istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri Katsuki. Aku akan menunggumu di rumah.

Setelah memencet tombol kirim, [Name] mengambil hoodie hitam favorit Bakugou dari dalam lemari. Setidaknya aroma samar dan hangatnya hoodie itu mampu mengurangi sedikit kerinduan [Name] pada tunangannya. Yakin tidak akan mendapatkan kesempatan untuk tidur, [Name] memilih untuk membuat susu cokelat hangat lalu merebahkan diri di sofa dan menyalakan televisi.

[Name] menyambar ponselnya saat nada dering khusus yang familiar menggema di seluruh apartemen.

Apa kau sudah tidur?

Belum.

Detik selanjutnya, layar ponsel [Name] menampilkan nama tunangannya beserta fotonya dengan kostum pahlawannya.

“Halo?”

“Tidak bisa tidur?” [Name] tidak menyangka hanya dengan tiga kata itu jantungnya berdegup lebih kencang. Suara inilah yang ia rindukan.

“Aku sudah mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa,” aku [Name]. “Apa kau sibuk?”

“Aku sedang istirahat sekarang,” suara helaan napas dari seberang telepon. “Aku harus kembali setelah ini.”

“Bagaimana kabarmu, Katsuki?” pertanyaannya memang klise, tapi hanya itu yang terlintas dipikiran [Name] untuk melanjutkan obrolan mereka.

“Aku sedang sibuk. Villain bajingan itu tidak akan bisa bersembunyi selamanya dan aku yang akan menjebloskannya ke penjara,” gumam Bakugou.

“Pelan-pelan saja. Kau butuh tidur Katsuki,” balas [Name] lemah. “Kau tahu betapa khawatirnya aku padamu.”

“Aku bisa tidur sepuasnya saat pulang. Aku akan menyelesaikan ini secepat mungkin.”

“Jika yang lain tidak melakukan apapun, berikan tugasnya pada mereka. Segeralah kembali,” kata [Name]. Sejenak, ia ragu apakah ia harus mengatakannya atau tidak lalu memutuskan untuk nekat. Bakugou adalah tunangannya dan pria itu harus menerima apa yang ia katakan. “Segera pulang Katsuki, karena aku tidak bisa tidur tanpamu.”

“Aku tahu, bodoh,” [Name] bisa melihat Bakugou tengah tersenyum. “Aku tahu.”

“Maaf karena aku memicu pertengkaran sebelum kau pergi jauh.”

“Sudah kuduga kalau kau melupakan misiku di Kyoto saat kau masih mengabaikanku paginya,” Bakugou terkekeh pelan. “Dasar pikunan. Umurmu masih muda tapi kau sudah melupakan hal-hal penting. Dasar idiot.”

[Name] mencebik. “Saat jauh pun kau masih sempat untuk mengejekku, Katsuki!”

Bakugou tertawa. “Aku harus pergi [Name].”

[Name] menelan kekecewaannya walaupun ia tahu tidak akan bisa memaksa Bakugou untuk terus-menerus menelponnya. Ia membayangkan Bakugou yang duduk di ruang rapat sendirian sambil bersandar dengan senyum lembut di wajahnya. Ia menyukai bayangan itu tidak peduli bahwa imajinasinya tampak bodoh.

“Semoga beruntung menangkap villainnya. Dan kumohon, berusahalah untuk tidur Katsuki.”

“Akan kucoba,” sahut Bakugou. “Tapi aku tidak bisa tidur dengan Kirishima di kamar yang sama.”

“Kenapa?” [Name] kebingungan. “Seingatku Kirishima tidak mendengkur atau mengigau.”

“Aroma tubuhnya berbeda denganmu.”

“Tentu saja, kenapa Kirishima berbau seperti ...?” [Name] berhenti sejenak. “Tunggu, maksudmu kau juga tidak bisa tidur tanpaku?”

“Aku harus pergi, idiot. Selamat tidur.”

[Name] menatap ponselnya dengan senyum sumringah. Bakugou memang tidak mengiyakan, tapi dari caranya yang mengelak dengan menutup telepon, [Name] tahu bahwa jawabannya adalah ‘iya’.

Ia membaringkan diri dengan lebih nyaman, merasa jauh lebih ringan daripada beberapa hari belakang. [Name] terlelap lima menit kemudian, masih dengan senyumannya yang belum luntur.

Selamat tidur Katsuki.

Ground Zero's PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang