Chapter 20

269 30 5
                                    

"Historia."

Perempuan berambut pirang mengalihkan perhatiannya dari televisi yang menampilkan berita harian, "Iya, Ayah?"

Sang ayah, Rod Reiss, menghela nafas, "Ayah sudah merasa baikan. Kau tidak harus menunggu ayah di sini setiap saat."

Historia mengulum bibirnya. Posisi duduknya diubah agar bisa menghadap ayahnya yang terbaring di ranjang rumah sakit, "Aku tidak bisa, Ayah."

"Kenapa?"

Tangan milik Rod digenggam erat, "Aku.. tidak ingin ayah sendirian sementara aku bersenang-senang di luar sana. Ingatlah bahwa aku ini satu-satunya keluarga ayah sekarang."

Rod menghela nafas, "Justru ayah merasa berat karena jika ayah tidak ada, kau akan sendirian. Ayah ingin kau ke luar, bertemu seseorang, menikah, lalu punya anak."

"Soal itu," Historia tersenyum kecil, "sudah lama aku menyukai seseorang. Ayah mengenalnya."

Kedua alis Rod naik disertai denan lengkungan di bibirnya, "Siapa itu?"

"Dokter Eren."

"Whoa," Rod terkekeh dan menepuk rambut anaknya, "Dia memang suami idaman."

Historia tersenyum malu, "Aku pernah melihatnya saat membeli obat untuk ayah. Dia masih menggunakan jas dokter, itu menambah ketampanannya. Lalu, saat ayah di UGD, dia yang menenangkanku."

"Iya, kah?" Perempuan berambut pirang tersebut mengangguk cepat, "Lalu, kau mau berkencan dengannya."

Dengan cepat rona merah menjalar di pipi Historia, "Itu terlalu cepat, Ayah!"

Rod kembali tertawa, "Ayah doakan kau berhasil mendapatkan hatinya, Nak."

"Terima kasih, Ayah."

꧁༺༻꧂

Jari-jari tangan berhenti menari di atas keyboard. Kedua tangan ramping saling bertautan dan saling menarik guna melemaskan satu sama lain. Desahan lelah meluncur mulus di bibir merah muda. Kepala berambut hitam menunduk, meneliti jam tangan yang melilit di pergelangan tangan.

"Setengah sembilan?" Kedua mata hitam membulat. Segera ia berdiri dan membereskan barang bawaannya ke dalam tas. Ponsel pintar dimasukkan ke saku mantel.

Levi segera keluar dari gedung kantornya yang terlihat mengerikan saat malam. Memang masih ada orang yang bekerja, tapi tidak seramai siang hari. Levi berjalan di atas trotoar dengan langkah cepat. Demi apapun, ia takut berkeliaran saat malam sendirian. Berhenti sebentar di dekat lampu lalu lintas, Levi menatap rumah sakit tempat Eren bekerja. Mengulum bibir, Levi mengambil ponselnya dan mengabari Eren bahwa ia akan menjemputnya di depan rumah sakit. Setelah mendapat jawaban, Levi pun menyeberangi jalan raya dan mempercepat langkahnya ke rumah sakit.

Malam semakin larut, jalanan sudah mulai lenggang. Penerangan seadanya membuat suasana semakin seram. Levi memeluk dirinya sendiri di depan rumah sakit sambil melihat jalan raya. Ternyata menatap jalan raya terlalu lama malah membuat pikirannya melayang entah kenapa, suara petir menyambar mengembalikan pikirannya. Levi memejamkan mata dan memekik kecil. Rintik-rintik air mulai membasahi bumi, semakin lama semakin deras. Tapi Levi merasa kering.

"Aku datang tepat waktu."

Dibuka matanya dan nampak lengan kekar memegang gagang payung di depan wajahnya. Levi mengenali lengan ini, dan suara tadi.

"Eren."

"Yaa, ini aku," Eren memeluk tubuh Levi mendekat, "Dari pakaianmu ini, kau pasti belum sampai di rumah. Mau makan malam bersama?"

Regret || Part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang