Alena
Minggu, 22 Desember 2030
Di pagi yang indah, hari ini kuterbangun dengan energi dan semangat yang baru. Aku siap untuk menjalani hari ini yang walaupun aku tahu pasti akan sama melelahkannya seperti di hari-hari sebelumnya. Kemarin juga aku sangat disibukkan dengan kelas dan tugas kuliah, tetapi semuanya terbayarkan dengan tidurku semalam. Dengan semangat yang masih baru, aku segera mandi dan berpakaian rapi. Tak lupa aku juga menyiapkan sarapan untuk Ibu dan adikku yang tercinta. Selepas itu, aku segera menyambar sepeda keranjang tuaku itu dan menaikinya. Dari rumah aku mengayuh sepeda keluar dari gang dan menyusuri jalan raya. Letak kafe dengan rumahku sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya berjarak kurang lebih tiga atau empat kilometer, yang berarti hanya akan memakan waktu sekitar 15 menit.
Aku selalu berangkat lebih awal dari rumah agar aku bisa sempat bersinggah ke taman favoritku. Seperti biasa aku menyempatkan diri di taman untuk bercerita dan kali ini aku ingin mengucap syukur kepada Tuhan karena aku masih diberi kesempatan untuk bisa bangun dan menikmati hari ini. Terlebih lagi, menghirup udara pagi sambil melihat hewan-hewan berkeliaran, hal itu sangat membangkitkan suasana hatiku untuk mengawali hari. Memang benar, jarak rumah ke taman pinggir kota lebih jauh daripada jarak rumah ke kafe, tetapi aku sengaja menggunakan jalan pintas menuju taman pinggir kota agar lebih cepat tiba di sana. Selesai dari taman, aku segera mengayuh sepeda menuju kafe tempatku bekerja, mengingat bahwa aku telah menghabiskan waktu yang cukup banyak di taman. Untuk hari ini, aku bertugas untuk menyapu dan mengepel lantai kafe sehingga tidak terlalu menjadi masalah jika aku telat beberapa menit setelah kafe dibuka.
Akhir-akhir ini pikiranku masih saja membayangkan sepasang mata yang kutemui bertepatan dua minggu yang lalu. Pelanggan dengan penampilan yang sangat berbeda dari pelanggan lainnya, tatapannya yang menangkapku berbeda dari yang lainnya. Aku tahu ini tidak normal karena dia hanyalah pelanggan yang tidak kukenal dan pastinya dia memiliki kehidupan sendiri di luar sana. Namun, entah mengapa hati ini selalu berdebar-debar ketika otak kembali menayangkan indahnya kedua bola mata miliknya. Aku benar-benar harus mengendalikan diriku. Tidak mungkin aku memiliki perasaan padanya hanya dengan bertatapan yang bahkan tidak sampai lima menit dengannya. Namun, tak bisa kusembunyikan perasaan ingin tahu ini. Siapakah namanya?
"Alena? Hey, Alena. Bumi kepada Alena!" Kata seorang laki-laki berusaha menyadarkanku.
Noah.
"Eh, Noah," kataku yang telah tersadar dari khayalan pikiranku sendiri.
Ada apa sih denganku? Biasanya aku tidak seperti ini. Melamun seperti orang bodoh sambil memegang sepeda di depan kafe. Aku merasa sedikit malu karena sialnya telah ada saksi mata yang melihatku melamun.
"Mikirin apa sih, Len? Lagi mikirin seseorang ya?" Goda Noah.
Sebenarnya aku cukup terkejut tiba-tiba Noah bertanya seperti itu. Entah kesambet apalah dia hari ini.
"Hah, bukan siapa-siapa kok. Cuma ngelamun biasa aja, bukan apa-apa." Bohongku.
"Yaudah gih, cepet masuk ke dalam, ntar telat absen kerja lagi," katanya.
"Iya, iya. Ini masukin sepeda dulu, hehe." balasku.
Waktu demi waktu berlalu, akhirnya jam kerja pun selesai juga. Aku menghembuskan nafas panjang dan berat karena hari ini memang banyak sekali pelanggan yang datang. Butuh energi yang ekstra untuk bekerja.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Noah.
"Hm? Iya kok gapapa. Emang capek aja kerja seharian," jawabku.
"Mau aku antar pulang aja naik motor? Sekalian aku bantuin kamu tutup kafe, sepeda tinggal sini aja besok tinggal diambil lagi," tawar Noah.
"Eh, gausah. Gak usah repot-repot, aku masih ada tenaga kok untuk naik sepeda," kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Mis(i)teri Kita
Mystery / ThrillerSudah menjadi hal yang biasa apabila Arsen mendapatkan misi khusus dari ayahnya. Namun, pada suatu hari Arsen diberikan misi khusus oleh ayahnya, yang menurutnya berbeda dari sebelumnya dan harus ia selesaikan dalam waktu satu minggu. Apa yang akan...