Aku pernah bermimpi menjadi seorang dokter, Dulu, saat aku masih hobi bangun jam 5 pagi sekadar untuk menonton Avatar: The Legend of Aang yang ditayangkan di salah satu channel swasta nasional. Dulu, sewaktu aku dan ketiga kakakku masih bisa berangkat sekolah bersama karena SD dan SMP kami bersebelahan. Kupikir sekitar 6 dari 10 anak pernah bercita-cita demikian. Ada berbagai alasan yang masuk akal. Dokter adalah pekerjaan terhormat. Mereka mengobati orang-orang yang sakit, menyelamatkan nyawa orang-orang. Seorang dokter juga berpenghasilan lumayan. Di otak anak kecil yang polos seperti itu, apalagi yang bisa diharapkan. Anak kecil selalu sederhana. Mimpi mereka juga sederhana. Orang dewasa yang rumit.
Tapi lihat apa yang menjadi 'aku' di usia yang terbilang dewasa ini?
Nafasku terengah-engah. Sedetik kemudian berubah tersengal karena aku menangis. Dengan pandangan nyalang ke depan, air mataku mengalir deras. Senjata ditangan ikut bergetar hebat, selaras dengan getar tubuhku. Suara tangisku juga tidak membantu membuatku terlihat baik-baik saja.
Di depan sana, sekitar 12 meter dari tempatku berdiri, terdapat makhluk hidup yang tergolek tidak berdaya karena beberapa detik yang lalu peluruku berhasil bersarang dalam perutnya. Darah mengalir lumayan deras dari lubang tempat peluru tadi mengoyak perutnya. Mengotori bulu-bulunya yang halus. Matanya bahkan masih membuka ngeri. Sama ngerinya dengan tatapanku sekarang.
Aku sudah menjadi pembunuh. Pembunuh pelanduk. Kontradiksi sekali dengan cita-citaku saat kecil dulu. Walau ini hanya hewan, membunuh dengan sengaja dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri itu esensinya tidak pernah baik, kan?
"Kamu tadi harusnya bidik kepala atau matanya sekalian, Lea?"
Kak Jo sama sekali tidak membantu. Aku tahu membunuh hewan buruan seperti ini sudah biasanya baginya. Bahkan membunuh makhluk yang satu spesies dengannya juga sudah biasa. Tapi aku tidak. Aku belum terbiasa. Dan tidak seharusnya menjadi terbiasa.
Perkataan Kak Jo aku abaikan. Kalau aku membuka mulut, kurasa bukan pilihan bagus. Senapan laras panjang dalam genggaman aku lemparkan ke samping. Kepalaku mendongak untuk menghirup udara segar yang disediakan pepohonan tinggi yang mengelilingi kami. Minggu ini mereka mengajakku ke salah satu wisata perburuan di pinggir kota alih-alih berlatih di base seperti biasa. Tidak hanya kami berempat, ada Lutfi, Mark, dan Bang Mara-salah satu anggota tim Beta-yang baru aku temui hari ini.
Angin yang berhembus pelan menerbangkan helai-helai rambutku yang lolos dari cepolan. Sinar matahari yang menelusup di sela-sela kanopi membuatku sedikit silau saat mendongak. Tapi suasana ini sedikit banyak membantuku tenang kembali. Aku tidak tahu apa yang rombonganku lakukan di belakang sehingga suasana menjadi sehening ini, tapi aku mensyukurinya. Mungkin ini terdengar sedikit berlebihan, tapi aku benar-benar merasa begitu berdosa telah mengambil nyawa makhluk hidup yang tidak berdosa itu. Padahal kalau dipikir-pikir, nyamuk yang berakhir mati dalam telapak tanganku, atau semut yang hanya sekadar lewat namun aku tega menginjak mereka hingga mati, sama-sama tidak berdosanya. Lalu mengapa aku perlu merasa sekotor ini sekarang?
Setelah napasku kembali teratur, aku berbalik dan mendapati wajah-wajah khawatir yang menatapku. Aku memaksakan senyum untuk memberitahu mereka bahwa aku baik-baik saja. Senapan yang tadi sempat aku telantarkan aku ambil kembali, mengangsurkannya ke Kak Jeff yang sudah terlebih dahulu mengulurkan tangan.
"Sorry. Aku cuma,.. kaget." Mataku hanya mengamati lumut yang merambat di kayu lapuk yang terdampar di depan kakiku. Mungkin mereka menganggap aku terlalu lemah karena menangis hanya sebab menembak mati pelanduk untuk pertama kalinya.
"Yo, sweety." Suara Lutfi membahana di hutan belantara ini. Ia merangkul pendakku dengan erat dan memberikan senyuman lebarnya. "Itu tadi not bad. Good, kok. Good. You don't any need to say sorry." Ujarnya dengan dengan cengiran khasnya. Aku balas tersenyum padanya sambil memukul pundaknya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guns On My Back
General FictionNCT MAFIA ____________ Mana yang lebih baik bagimu? Mati di tangan musuh atau mati di tangan orang terkasih, sekalipun itu berarti pengkhianatan? Aku, lebih memilih mati di tangan terkasih. Pengkhianatannya tidak penting. Bagiku yang terpenting ad...