1.4

21 2 0
                                    

Warning!!! It's fucking 3K words!!

°°°°°°°°°°°°°°°°

Malam semakin merambat naik saat kami mulai menyalakan api unggun di tengah-tengah lahan terbuka. Beberapa saat yang lalu Lutfi dan Mark berhasil mengumpulkan kayu bakar yang diperoleh dari bagian hutan dalam. Berbeda dengan hutan pinus tempat kami mendirikan tenda, bagian hutan dalam dipenuhi berbagai spesies tumbuhan tinggi dan berkayu besar, khas vegetasi hutan hujan tropis. Terdapat semacam pembatas yang terbuat dari jaring-jaring kawat setinggi tiga meter yang membatasi antara hutan pinus dan hutan dalam. Diantaranya pun terdapat lahan luas yang hanya ditumbuhi rerumputan jarang. Disinilah kami melakukan acara api unggun karena pihak pemilik hutan pinus tidak memperbolehkan kami menyalakan api di dalam area. Kami berhasil menerobos setelah Bang Mara memotong pagar kawat dengan alat sejenis laser. Saat aku berteriak kaget akan tindakannya, Bang Mara hanya terkekeh ringan dan berkata akan memperbaikinya sebelum pulang.

"Gaga, sini duduk samping kakak." Kak Jeff menepuk-nepuk ruang kosong tikar di samping kirinya. Penerangan dari api unggun yang menyala setinggi pingangku membuat wajahnya yang tampan tambah tampan saja. Tanpa menjawab, aku langsung duduk di tempat yang dimaksud Kak Jeff dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Tangan Kak Jeff mengusap-usap kepalaku dengan lembut.

"Oke, kan?"

Aku mendengkus kelewat keras. Sengaja untuk menyindir. Sedari tadi para lelaki ini sibuk menyiapkan ini itu tapi aku sama sekali tidak boleh membantu dan hanya diperintahkan untuk duduk manis menunggu. Bahkan Bang Mara yang baru mengenalku hari ini melarangku ikut berbelanja bahan makanan dengannya dengan alasan aku harus istirahat. Kak Jo yang pergi bersamanya jelas mengamini. Apa-apaan. Padahal sejak datang ke lokasi ini aku hanya duduk dan berbaring di tenda saja.

"Ada alasan buat aku gak oke?" tanyaku balik. Tawa Kak Jeff menyembur setelah mendengar nada sewotku.

"Lo apain adek kesayangan gue sampe galak gini matanya, Jeff?"

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku ditarik ke samping kanan bersamaan dengan suara Kak Yudith yang datang menghampiri. Ia memelukku defensif sambil melotot ke arah Kak Jeff. Namun ia sempat melirikku sedetik dengan tatapan lembut dan senyuman yang sama lembutnya.

"Heh, ini juga adek kesayangan gue kali." Jawab Kak Jeff tidak terima.

"Gak ada. Gue yang lebih sayang Gaga."
Aku memutar bola mata. Aksi mereka yang seperti ini bukan pertama kali. Seringkali terjadi malah. Dulu-dulu aku selalu mencoba melerai, tapi tidak pernah berhasil. Hanya Kak Jo yang berhasil melerai mereka. Bahkan papa pun menyerah. Aku jadi heran sendiri, mengapa mereka lebih takut pada Kak Jo daripada Papa.

"Enak aja. Gak ada. Sini, Ga." Kak Jeff melingkarkan lengannya di tangan kiriku dan mencoba menarik lepas dekapan Kak Yudith. Namun Kak Yudith yang tidak mau kalah juga menarik lengan kananku dengan kekuatan yang membuatku meringis. Jadilah aku semacam tali tambang yang ditarik dari dua sisi.

"Yudith. Jeff." Seruan Kak Jo membuatku menarik napas lega. Sedetik setelah mereka menyadari kehadiran Kak Jo, kedua lenganku terbebas dari cengkeraman mereka.

"Mau sampai kapan kalian bersikap kayak anak kecil gini?" Menatap Kak Jo, aku memberikannya dua jempol sambil nyengir tanda terima kasih. Setelahnya diam-diam aku mundur dari posisiku diantara mereka yang masih mengkerut dibawah tatapan dan omelan Kak Jo. Merangkak dengan hati-hati ke sisi Bang Mara, Mark, dan Lutfi yang baru saja selesai memasak mie rebus dengan panci yang ukurannya membuatku melongo. Mereka tampak terhibur melihat raut takut kedua kakakku yang sedang diomeli Kak Jo. Kapan lagi melihat keduanya yang memasang raut gugup seperti anak kecil sedang di marahi oleh orang tuanya seperti ini kalau bukan karena Kak Jo?

The Guns On My BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang