1.6

31 3 0
                                    

Gawaiku terpental ringan saat aku melemparkannya ke kasur sembarangan. Kelewat sebal karena saat aku punya waktu luang di akhir pekan yang seharusnya diisi dengan kencan, Theo malah gantian berhalangan. Urusan BEM atau apalah itu. Padahal saat Kak Yudith mengirimi chat bahwa minggu ini aku tidak perlu latihan, aku sudah membayangkan deretan kursi-kursi merah Cinema XXI, Oreo Mint Chocolate Chip Baskin Robbins, bunga krisan yang selalu mekar subur di taman tengah kota, konversasi random kami, dan usapan-usapan lembut di kepala. Sekarang bayangan itu menghilang digantikan dengan hasrat untuk menanamkan granat berdaya ledak rendah di ruangan rapat BEM hanya untuk menunda kegiatan persetan apapun yang mengharuskan Teo menolak ajakan kencanku.

Hah. Sepertinya jiwa-jiwa psychopath sudah mulai tumbuh.

Rencana akhir pekanku gagal dan aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Rina pastilah bukan pilihan yang tepat mengingat Jum'at kemarin ia sempat menyinggung sesuatu seperti ingin melihat bayi kangaroo asli di Australia. Mengajak Mark dan Lutfi juga tidak mungkin karena keduanya sedang dalam misi sejak seminggu terakhir. Sayangnya, aku hanya mengenal sedikit orang di organisasi dan hanya mereka berdua yang bisa aku sebut sebagai teman. Well, Bang Mara mungkin termasuk tapi aku masih merasakan kesenjangan usia dengan pria yang berjarak 9 tahun diriku itu. Bukan pilihan bagus untuk dijadikan pilihan teman nongkrong di akhir pekan.

Mendadak aku merasa bersalah karena aku melupakan orang-orang yang seharusnya paling mungkin dan paling ideal untuk dijadikan partner in crime di hari Sabtu seperti ini. Benar. Aku punya kakak-kakak posesif yang tentu akan dengan senang menghabiskan waktunya dengan adik kesayangan ini. Dengan penuh harap aku keluar kamar untuk menuju kamar kakak-kakakku. Yang aku lupakan lagi adalah, bahwa kakak-kakakku bukan orang biasa yang mempunyai banyak waktu luang untuk dibuang-buang dengan adik yang tidak becus dengan senapan laras panjang seperti aku.

Kamar Kak Jo kosong. Begitu pula dengan kamar Kak Yudith dan Kak Jeff. Desahan kecewaku tidak repot-repot ditahan. Ada banyak skenario yang berputar di kepala tentang apa dan dimana kakak-kakakku ini berada sekarang. Dan kesemuanya bukan berita yang menggembirakan karena interupsi apapun dari siapapun jelas tidak diharapkan oleh ketiganya.

Bahuku lunglai, bibirku tertarik ke bawah. Mendadak aku merasa antisosial karena menyadari aku tidak punya teman sebanyak itu. Untuk sesaat rencana menghabiskan Sabtu dengan Netflix sudah terasa memuaskan. Hanya sesaat sebelum aku mendeteksi salah satu asisten rumah tangga kami berjalan dengan baki penuh makanan dan minuman ringan. Melihat komposisinya saja aku tahu kemana tujuan ART kami itu.

Sebotol wine, keripik kentang, macaroni, dan lemper. Sangat Kak Jeff sekali. Buru-buru aku menuruni tangga untuk mencegat art itu.

"Itu buat Kak Jeff, kan, bi?"

Bi Imah yang mendengar seruanku berhenti melangkah. Matanya yang mulai dihiasi satu dua keriput mengikuti pergerakankku yang berlari cepat menghampirinya. "Iya, mbak. Kenapa gitu? Mau diambilin cemilan juga?"

"Engga, bi." Kepalaku menggeleng kecil. Tanpa aba-aba, aku mengambil alih baki tersebut, memindahkan dalam kekuasaanku. Bi Imah hanya mengerut heran. "Biar Gaga aja yang nganterin. Kak Jeff dimana? Sekalian Gaga mau ketemu Kak Jeff juga."

Kerutan dahinya menghilang berganti senyum kecil. "Mas Jeff-nya ada di belakang mbak."

Mengembangkan senyum singkat, kakiku melesat sama cepat menuju bagian rumah belakang. Tanpa di beritahu pun aku paham bahwa belakang yang dimaksud Bi Imah adalah gudang belakang. Atau lebih tepatnya ruang penyimpanan senjata kami. Mengingat bahwa disana juga terdapat playground-nya Kak Jeff, semakin masuk akal pula asumsiku itu.

Namun saat aku sudah membuka pintu besi yang berat itu, serta melewati rak-rak hardisk penyimpanan, bukan eksistensi Kak Jeff yang aku temukan. Melainkan seorang pria berwajah lancip dan berbahu besar. Dalam keadaan shirtless, penuh keringat, napas pendek-pendek, bergelantungan naik turun di sebuah palang. Irisku secara instingtif terpaku beberapa detik pada perut kotak-kotak sempurna di depan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Guns On My BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang