🌻🌻🌻
"Lilik Aga, Banu nyuwun arto kalih ewu!" ( Banu minta uang dua ribu )
"Lilik, Banu badhe nangkep kinjeng mboten saged. Tolong.." ( Banu mau nangkap capung nggak bisa )
"Lilik, Banu pipis."
"Lilik, ayam jago ucul!" ( Lepas )
Hembusan nafas kasar Tyaga terdengar bersahutan dengan suara melengking milik Banu, anak kakak keduanya, Namira.
Sedari pria kecil itu datang pagi tadi bersama ayah, ibu serta adiknya, hidup Tyaga menjadi tidak tenang. Sebentar sebentar pasti minta ini minta itu. Ada saja yang diminta darinya. Entah hal sekecil perkara pipis yang sudah bisa ia lakukan sendiri pun ada nama Tyaga disana.
Diantara para keponakannya hanya Banu seorang yang paling ribut, paling tidak bisa diam, merepotkan semua orang, khususnya Tyaga.
Padahal ada banyak orang di rumah mereka yang bisa Banu mintai tolong. Tapi sedari dulu memang hanya Tyaga seorang yang selalu menjadi 'budak' Banu bila ia tengah pulang ke rumah eyangnya.
"Innalilahi, Banu, itu ayam jago punya eyang kenapa lepas?!" Tak berpikir lama, Tyaga segera berlari mengejar Jali-ayam jago kesayangan ayahnya yang sudah hampir setahun ini menjadi penghuni halaman luas di belakang rumah joglo.
Untungnya Tyaga bergerak cepat menangkap jali yang hampiiirr saja melesat melompati pagar.
Entah bagaimana jadinya bila si ayam jantan itu nyasar ke hutan yang letaknya tak jauh dari rumah mereka. Meski ada pagar pembatas dari bambu yang membatasi halaman belakang dengan lahan persawahan, tapi tingginya tak sampai satu meter.
Jali punya kandangnya sendiri yang terbuat dari kayu laban dengan ukiran berbentuk naga di atasnya. Tidak mungkin ayam jago itu keluar dari kandangnya sendiri-kecuali ada tangan jahil yang sengaja membuka kandangnya dengan sengaja.
Jawabannya siapa lagi kalau bukan Banu, si cucu nomor empat yang cerewetnya melebihi ibu kandungnya sendiri-Namira.
Tyaga bersyukur kakaknya menetap di Wonosobo-kampung halaman kakak iparnya, jauh dari rumahnya dan hanya akan berkunjung sesekali. Tak bisa ia bayangkan apa jadinya jikalau rumah mereka berdekatan. Habis sudah hidupnya.
"Aku ndak lepasin ayamnya kok! Keluar sendiri Lilik!" Mana mau seorang Banu mengakui salahnya dimana. Yang ada, dia akan terus-terusan berkilah.
"Habis kamu sama eyang kalau tau ayamnya lepas." Tyaga menampilkan wajah paling garang miliknya agar anak itu takut sekaligus ia ingin menguji seberapa berani bocah itu dengannya.
Air muka Banu seketika berubah keruh. Lalu, "Mamaa!" Jeritnya kencang. Disusul tangis kerasnya.
Tyaga memijit pelipisnya yang berdenyut-denyut. Untungnya mereka masih berdiri di dekat pagar yang jaraknya cukup jauh dari beranda belakang rumah.
"Diem, ndak usah nangis." Meski masih sesenggukan tapi kedua mata kecil itu malah melirik Tyaga sinis.
"Lilik Aga galak pisan. Tak aduin Papa biar dihukum!"
"Ayo ngaku tadi Banu kan yang lepasin si jali?" Tak ada sahutan apapun dari keponakan Tyaga. "Bohong itu ndak baik Banu, ndak bisa masuk surga nanti kalo suka bohong."
Bukannya sadar bila dirinya salah, Banu malah memukuli kaki Tyaga menggunakan kepalan tangan kecilnya. Sebenarnya kalau sekali dua kali sih nggak akan terasa, tapi bila pelakunya melakukannya berkali-kali dengan kekuatan sepenuh tenaga lumayan juga.
"E'eh, kenapa pukul-pukul begitu? Sakit ini kaki Lilik." Tyaga ikut jongkok didepan Banu, menahan kedua tangan kecilnya yang sepertinya hendak memukulnya lagi. "Huaaa, mama.."
KAMU SEDANG MEMBACA
TUSTA
RomansaCayapata Tyaga menikahi seorang gadis berparas ayu bernama Retania Ranupatma. Dirinya pun pernah menikah dengan seorang perempuan bernama Alia Jaya Wadina, anak dari teman kakeknya. Namun usia pernikahan mereka hanya bertahan setahun. Retania, adal...