0

25.3K 2.3K 200
                                    

Di tahun 1948, saat hari sudah gelap gulita dan semakin larut, suara jangkrik sedikit teredam oleh suara air yang berjatuhan di atas atap barak  sontak membuat suasana semakin mencengkam kian dirasa oleh para tentara yang sedang berjaga di barak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di tahun 1948, saat hari sudah gelap gulita dan semakin larut, suara jangkrik sedikit teredam oleh suara air yang berjatuhan di atas atap barak  sontak membuat suasana semakin mencengkam kian dirasa oleh para tentara yang sedang berjaga di barak.

Hal itu juga turut dirasakan oleh sosok tampan berbalut seragam tentara berwarna cokelat dengan senapan siaga dipegang di depan dada. Dia pelan-pelan  helakan napas tatkala hujan mulai mengguyur area tempat ia dan beberapa tentara berteduh.

Dia duduk bersandar di dinding papan yang masih terlihat kokoh di belakang, lantas dihirupnya aroma tanah yang menguak saat hujan mengguyur tanag. Aroma yang dikeluarkan oleh tanah basah itu sangat menenangkan. Terasa sangat tenang sampai dia pelan-pelan bisa hembuskan napas lega.

Aroma tadi itu, kebanyakannya orang sering menyebutnya sebagai petrichor . Entah apa yang mendasari aroma tersebut  dinamai demikian, dia tidak tahu dan  hanya ikut-ikutan saja menyebutnya begitu. Persetan dengan arti dan makna, tapi yang sudah jelas ditahu pasti dia sangat menyukai aromanya.

"Hattala," sapa tentara lain memecahkan kesunyian yang teredam oleh suara gemercik hujan.

Sosok yang diketahui bernama Hattala menoleh dengan kerut samar pada dahinya, "Ada apa, mas?"

Suaranya mengalun rendah, sangat khas dan buat temannya sunggingkan sedikit senyum tipis. 

"Malam ini pulang ke rumah ibuk?" tanya salah satu tentara itu tadi

Hattala mengangguk, lalu mengelap senapan panjang yang sedari tadi ia pegang, suatu kebanggaan baginya untuk bisa memegang senapan yang biasa ia lihat sejak kecil sebab menjadi tentara adalah mimpi terbesar yang pernah ia punya. Itupun karena selalu lihat bapak pulang dengan seragam kebanggannya dulu.

"Jauh, 'kan? Ndak lelah, ta?" tanya Soekardi, tentara tadi.

Hattala terkekeh geli, "Ndak ada yang melelahkan demi bertemu orang tercinta."

Soekardi spontan ikut tertawa. Tapi miliknya jauh lebih besar dan menggema, buat beberapa tentara yang berjaga malah tolehkan pandang pada mereka. Hattala hanya bisa mengerut malas dan meletakkan telunjuknya pada belah bibir, beri kode agar Soekardi dapat pelakan sedikit suara tawa yang terdengar cukup menganggu itu. Sebab mau bagaimanapun, tentara yang berjaga butuh konsentrasi agar keberadaan musuh dapat diendus.

Tawa itu perlahan mereda, digantikan dengan kulum senyum penuh keingin tahuan lebih pada yang muda, "Berapa umurmu?" tanya Soekardi, tiba-tiba saja.

"24, tahun ini," jawab Hattala tenang.

"Ndak mau menikah ta?"

Dahi yang sempat berkerut itu lantas mengerut kembali. Pertanyaan aneh seperti apa itu? Menikah, katanya. Mau menikah dengan siapa dirinya? Kekasih saja tak punya.

"Belum kepikiran, mas," balas Hattala seadanya.

Bapak satu anak itu mendengus, "Coba cari pasangan lah, biar ndak terlampau monoton hidupmu."

Juwita Malam Season 1 [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang