Gentala menghela napasnya berkali-kali setelah keluar dari gerbong. tubuhnya masih sedikit lemas akan kalimat yang keluar begitu saja dari mulut Hattala.
"apa yang dia pikirkan." ujar Genta pelan.
cahaya rembulan masih setia menemani Gentala yang tengah berkutat dengan pikiran miliknya.
sedikit mengabaikan banyaknya manusia yang sekiranya masih betah untuk duduk di warung kopi milik Denok saat malam telah larut.
kaki itu melangkah dengan cepat masuk ke dalam rumah miliknya, sedikit mengabaikan pikiran aneh yang terus menerobos masuk.
"mandi sepertinya bisa menghilangkan pikiran aneh yang memaksa ku untuk bertanya kejelasan kalimat besok." ujar Genta pelan lalu keluar dari rumah menuju kamar mandi.
malam telah larut, tapi Gentala tak merasa takut. ia jauh lebih takut jika tak bisa tidur karena tubuhnya lengket.
10 menit rasanya cukup di habiskan untuk mandi, sekarang pemuda manis itu tengah duduk di depan jendela kamar miliknya dengan indomie rebus sebagai peneman.
"mengapa kalimat tadi begitu mengusik batin." keluhnya malas.
tidakkah Hattala paham dan sadar akan kalimatnya tadi, kalimat yang sangat tabu untuk di lontarkan oleh lelaki ke lelaki lainnya setidaknya untuk di era ini. penyuka sesama sangatlah di kecam. entah di era selanjutnya, Gentala tak tahu.
"apa maksudnya menjadi pendamping. menyukainya saja aku selalu merasa seperti pendosa." ujar Genta yang mulai menutup jendela kamar miliknya.
Gentala menghela napas pelan lalu menmmakan indomienya dengan secepat kilat.
"jikalau memang bisa bersama, rasanya akan sangat menyenangkan dan menakutkan dalam waktu yang sama." ujarnya pelan.
"astaga Hattala apa yang ada di otak mu." rutuk Hattala di dalam kamarnya.
lelaki itu telah berganti pakaian dengan kaus putih dan sarung kotak-kotak.
"tentu saja yang ada di otak ku ialah Gentala." ujarnya sembari menjatuhkan badan di kasur miliknya.
netra kelam itu jatuh di atas lampu kamar yang redup. batinnya tiba-tiba mengaduh saat kenyataan menimpa.
"membayangkan aku menikah dengannya sangatlah indah. tapi tidakkan itu mustahil. maka jika tak menikah, menjadi kekasih hatinya sudahlah cukup bagi ku." gumam Hattala.
pemuda tentara itu lantas mengusap wajahnya frustasi. tak pernah terpikirkan olehnya untuk jatuh akan insan yang memiliki jenis kelamin yang sama dengannya.
jika orang akan menghakimi dan melabelinya gila karena telah lancang jatuh akan pesona elok Gentala, ia tak akan marah.
sekalipun ia tak pernah menjalin cinta, ia paham apa yang tengah ia rasakan. perasaan ini bukan hanya sekedar kagum akan eloknya wajah pemuda bak gula jawa itu.
hatinya selalu berteriak nestapa saat pemuda bermata serigala tersebut melirik malu maupun terkekeh pelan. hati miliknya selalu memuja dan akan terus memuja setiap inci dari paras elok milik sang Juwita.
paras elok bak kesejukan bahari selalu mampu membuat Hattala terheran sendiri. bagaimana bisa tuhan menciptakan sosok pria yang begitu meresahkan jiwa dan raganya.
"Gentala, rehatlah sejenak. berhenti muncul di otak ku. tubuh ini juga butuh istirahat." ujar Hattala terkekeh sembari menutup wajahnya dengan kain batik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juwita Malam Season 1 [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarMana kala hati jatuh pada yang jauh dari norma, Hattala bisa apa? Paras Gentala selalu elok bagai delima, buat dia tak bisa pindahkan pandangannya. Cinta yang tak bisa ditunjukkan pada seluruh dunia memang tak pernah bisa dapatkan akhir yang benar-b...