Kereta akhirnya berhenti di pemberhentian terakhir dengan selamat. Merasa bahwa kereta sudah berhenti sepenuhnya, dua insan muda yang sejak tadi menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing itu bergegas berdiri dari duduk. Mengingat hari sudah semakin malam dan gelap, sudah pasti tubuh inginkan segera rehat. Mata keduanya tak sengaja bertubrukan kala sama-sama mengangkat kepala. Kali ini, si manis terlebih dahulu memutus kontak mata sambil seunggingkan senyum simpul yang terlihat sangat sederhana namun manis sekali di mata Hattala.
Setelahnya, Gentala bergerak cepat tinggalkan gerbong kereta. Dia jalan cepat tanpa tolehkan pandang ke belakang sama sekali, biarkan Hattala mematung sendiri di dalam gerbong. Kepala itu menggeleng sejenak, mengerjap berkali-kali sambil usahakan kaki buat turun. Katakanlah Hattala berlebihan atau mungkin gila karena sejauh apapun ia pergi bertugas, sebanyak apapun senyum yang ia dapati dari banyaknya khalayak yang pernah ditemu dalam berbagai kesempatan, senyum sosok itu jadi yang paling berhasil buat dia tersentuh hatinya.
Memang nyatanya itu bukan yang paling manis, bukan yang paling indah ulas senyumnya. Hanya saja, Hattala tak mampu buat lupa akan paras manisnya. Rasanya aneh, saat senang merengkuhnya kala lihat sosok asing itu. Apakah sudah lama kosong hatinya ini sampai-sampai dapatkan satu ulas manis dari sosok pria sederhanapun mampu buat Hattala kepikiran terus sampai keheranan.
Ah, rasanya aneh sekali. Hattala kembali gelengkan kepala, usir semua sosok pria tadi dalam kepalanya. Sekalipun dia tahu betul bahwa untuk hengkangpun sosok itu enggan. Hela napasnya terdengar, Hattala angkat kepal tangannya buat tepuk-tepuk dada kirinya, buat hilangkan detak kencang dari sana. Oh, apalah jadinya kalau detak ini terus cepat kalau duduk dalam satu gerbong dengan si manis tadi? Bingung sekali dia dibuatnya, Hattala pacu kakinya buat cepat bergerak untuk cepat sampai ke rumah. Dia butuh air untuk bilas kepalanya.
Tapi tak ingin menampik bahwa ingin sekali dia bertemu kebali dengan sosok itu, ingin dengarkan suara dari belah bibir manis itu. Lagi dia helakan napas, Hattala melenguh agak panjang kali ini. "Bertemu sekali lagi mungkin tak jadi masalah, bukan?"
Sedangkan kala bulan sudah terangkan sinarnya buat halau gelapnya malam, Gentala masih berjalan menuju rumahnya dengan wajah keruh dan ekspresi yang kosong, perasaan gila apa yang baru saja bersandang di hatinya batin hati nelangsa. Sersan muda yang paling dikenal oleh para wanita itu benar-benar berhasil curi atensinya. Mana lagi saat paras tegas dan dinginnya tolehkan pandang pada Gentala, kaki seakan dibuat mati rasa. Apakah Gentala terdengar berlebihan sekarang? Dia hanya uraikan rasa yang tengah mengganggunya saja.
"Apa itu tadi?" katanya lemah.
Kepala itu mendadak menggeleng kencang. Gentala sejatinya tau siapa dirinya. Dia adalah seorang lelaki, begitu pula dengan Hattala. Sejauh yang diketahu, tak akan pernah ada kata cintadi antara seasamanya dan dia paham betul. Sebab memang sudah seharusnya begitu, tak akan pernah bisa diganggu atau dicela pemahaman yang telah melekat pada seluruh manusia yang hidup di desa mereka. Sebab yang paling Gentala ingat adalah ibuk pernah bercerita tentang Yuyuk, si gadis jadi-jadian desa yang diamuk warga karena ketahuan menjalin cinta dengan seorang petani padi yang merupakan lelaki. Sungguh miris, kisah hidup Yuyuk buat Gentala gelengkan kepala lagi.
Rasa takut kalau dibantai oleh warga kadang hampiri dia. Dia pernah bernadai, bagaimana perasaan Yuyuk waktu itu? Seberapa besar rasa takut yang dia pegang erat-erat kala para warga dusun datang dan pukul dirinya? Apakah cinta tak pernah luas artinya? Apakah cinta akan tabu kalau tak pernah sama dia dengan yang lainnya? Gentala ingin tahu jawabannya, ingin pastikan apakah memang ada kata 'salah' dalam saling mencinta?
Hela napasnya terdengar, rasa takutnya ternyata tak bisa lebih besar dari getar di sudut kiri dadanya. Ada rasa aneh yang timbul saat matanya bertatapan dengan mata malas milik tentara muda itu. Jantungnya berdegup kencang, rasa senang gelitik perutnya sampai ulaskan banyak senyuman. Gentala pasti usahakan tahan dua sudut bibirnya, tak ingin kentara terlihat tengah rayakan senang kala dapat pandang sang sersan muda idaman wanita. Sejatinya Gentala tak bodoh buat paham perasaan jenis apa yang telah datang padanya sejak malam pertama mereka bertemu di gerbang kosong.
Hanya saja dia terus menampik semua fakta-fakta yang ada. Fakta bahwa dia telah jatuh, pada pesona Hattala. Entah apa yang benar-benar mendasari perasaan gila ini, Gentala tak paham. Apakah karena dua bola mata malas yang dihiasi oleh lentiknya bulu mata? Apakah belah bibir tebal yang atasnya terbentuk bagaikan hati yang kerap digambarkan oleh kebanyakan orang? Entahlah, Gentala tak tahu pasti. Hanya saja, dia paham bahwa dirinya telah jatuh hati.
"Ibuk, aku 'ndak mau jadi seperti yuyuk, aku 'ndak mau dibantai oleh warga," katanya gusar sekali malam ini, abaikan rintik air yang mulai turun ke bumi lagi.
Tubuh kurusnya akhirnya sampai di depan rumah. Gentala putar kuncinya, dia akhirnya berjalan masuk dengan kesunyian yang menyambut. Sedih rasanya,. Namun, Gentala bisa apa? Ibuk telah tiada begitupun dengan bapak yang gugur dalam membela negara saat ia masih berusia 6 tahun. Setelah lihat semengenaskan apa jasad kepala keluarga itu buat dia hilangkan semua mimpi buat jadi tentara seperti bapak karena Gentala takut pada rasa sakit. Ah, namun sepertinya sekarang ia tak begitu takut karena kesendirian selalu membawa sakit untuk dirinya. Sakit kala tak bisa berbuat apa-apa saat dibuncahkan oleh rindu kerap sakiti hatinya.
Rasa rindu terhadap orang tuanya serta kesendirian membuat ia merasa terbiasa akan rasa sakit itu sendiri, "Aku rindu sama ibuk," bisiknya pelan.
Pelan dia berjala ke dapur, lepaskan tas lempang dan gantung di dekat paku, lantas bergeas buat siapkan segelas teh hanga diri sendiri sebagai peneman menanti redanya hujan deras yang mengguyur kota mereka lagi untuk malam ini. "Menyukai seseorang bukanlah hal utama yang kau cari di dunia ini Gentala," ujarnya pelan saat wajah tampan tentara muda itu masuk ke pikirannya. Gentala memukul kepalanya sekali, dia biarkan napas beratnya terdengar lagi, "Tidak usah dipikirkan, mungkin saja ini hanya rasa kagum terhadap sosok muda penuh berani sepertinya."
Ah mungkin saja memang benar, ia hanya perlu tidur nyenyak malam ini agar rasa aneh yang dipastikan bahwa sifatnya sementara akan lenyap terbawa oleh banyak mimpi-mimpi. Ya, tubuhnya memang sudah terlampau lelah akhir -akhir ini. Mungkin jadi salah satu faktor tak sanggup buat mengartikan perasaannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juwita Malam Season 1 [TELAH TERBIT]
FanfictionMana kala hati jatuh pada yang jauh dari norma, Hattala bisa apa? Paras Gentala selalu elok bagai delima, buat dia tak bisa pindahkan pandangannya. Cinta yang tak bisa ditunjukkan pada seluruh dunia memang tak pernah bisa dapatkan akhir yang benar-b...