Cacing nangka

119 17 12
                                    

8 Februari 2017

"Serius? Demi guru matematika yang akan jadi pacarku?" Teriak Venti frustasi sembari menggebrak meja guru.

Bagaimana tidak, di pagi hari yang cerah ini ia harus mendengar kabar jika Muel berpacaran dengan cacing nangka. Lantas bagaimana dengan El?

Venti berlari keluar kelas mencari El yang entah kemana perginya. Namun, langkahnya terhenti karena kedatangan Muel yang sedang digandeng mesra oleh si cacing nangka. Siapa lagi kalau bukan Febi. Seluruh penghuni kelas tampak kaget dan satu persatu mulai berbisik. Berbeda dengan Venti yang sudah dalam posisi ingin mencakar wajah sok imut yang dipamerkan Febi.

Gadis ular itu benar-benar menjijikan. Venti heran mengapa Muel bisa berpaling dari El dan memilih Febi. Apakah ia tahan berada dengan gadis itu?

"Eh, ada pelakor!" ucap Venti sarkatis sembari menatap tajam ke arah Febi.

"Maksud kamu apa ngomong kaya gitu?" Balas Febi tak kalah tajam yang merasa dihina oleh Venti. Ia tak terima jika disebut pelakor.

"Nggak bermaksud apa-apa. Cuman nyindir cacing yang ngambil milik orang. Canda cacing, nangka!" Kata Venti sembari melangkah keluar, tetapi dihadang oleh Febi.

"Kamu berani ngomong gitu sama aku?" Tegas Febi menatap sinis ke arah Venti yang masih terlihat santai. Tak ada yang tahu jika di dalam sana otak dan hatinya sedang bertarung mati-matian untuk mengendalikan emosinya agar tidak meledak.

"Kamu itu sampah! Eh, bukan. Kamu itu kaya pembantu yang selalu nempel sama El. Ngaku aja, kalau dia yang nyuruh kamu ngomong gitu, kan?" Sambungnya lagi.

"El itu temen aku. Ngerti arti temen kan? Oh, nggak yah? Ialah, kamu kan nggak punya temen. Pantes aja ngemis kasih sayang sama Muel, yang pacarnya El. Kurang kasih sayang yah? Kasian amat hidupnya!"

Kasar, tegas, tajam, dan menusuk. Siapa yang mengira jika Venti dapat berubah sekasar itu dan setenang itu. Dan lagi, kata-katanya membuat Febi mematung tanpa suara.

Muel pun seperti biasa tak peduli dengan perdebatan tak berguna itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu titik. Yaitu El.

Kemanakah dia? Mungkin saja El sudah mendengar berita itu. Tentu saja sudah. Seperti dugaannya kemarin, Febi akan menyebarkan berita itu dan dengan cepat diketahui oleh banyak orang.

Ini salahnya. Memang sepenuhnya salahnya. Ia sudah menyakiti gadisnya terlalu dalam. Sejak saat dimana ia membatalkan rencana untuk jalan-jalan berdua bersama El. Ah, kenapa ia harus termakan omongan Febi?

**

Dilapangan, El sedang duduk terdiam memandangi para pria yang sedang serius bermain futsal. Lebih tepatnya ia melamum.

Melamunkan Muel yang sudah tak seperti Muelnya. Ia tertawa sumbang, menertawakan dirinya yang bahkan masih mencintai pria jahat itu, dan berharap jika berita itu hanyalah gosip belaka.
Ketahuilah, ia tak menangis.

Gafur yang sedari tadi tak fokus bermain futsal pun memutuskan untuk mengehentikan permainannya dan berlari keluar lapangan.

"Eh, Gafur! Kok berhenti?" Teriak Faisal sembari membasuh peluhnya.

"Istirahat." Jawabnya santai.

Di depannya, ia menatap El yang sedang tertunduk lesu tak bertenaga. Ia tahu ini ulah siapa. Dan demi apapun, ia akan menghajar pria itu.

"Hei, bengong aja." Sapa Gafur ramah sambil tersenyum.

"Gafur, nggak main lagi?" Balas El dengan senyum yang dipaksakannya.

"Nggak. Gantian dulu." ucap Gafur sedih. Ia sedih sebab tahu gadis di sampingnya ini sedang menahan diri agar tak menangis di depannya. Bagaimanapun, Gafur adalah tipe pria yang super peka.

"Gantian pemain?" tutur El dengan nada rendah.

Tolonglah, siapapun! Tolong El. Kasihan dia. Cintanya begitu tulus, tetapi balasannya ia malah dipermainkan dan tak dihargai. Sayang yang tulus tak diinginkan, lantas apa yang diinginkan Muel? Ah, pria itu.

Gafur yang mendengarnya hanya tersenyum sembari mengetuk pelan dahi El.
"Gantian liat kamu dulu, masa bola mulu." Katanya lembut.

Untuk pertama kalinya, Gafur mengatakan hal yang sedikit, manis menurutnya. Sebab Gafur tak pernah memperlakukannya seperti ini sebelumnya. El tak membalasnya. Ia hanya memaksakan senyumnya agar Gafur tak merasa kecewa.

"El"

Suara itu, ia mengenalnya. Ia rindu suara itu, dan sapanya. Muel.

Pelan El membalikan wajahnya. Ia memantapkan hati agar jangan sampai menangis di hadapan pria brengsek yang ia cintai itu, sebelum akhirnya berbalik dan menatapnya.

Ini sulit.

Muel menatap El dengan tatapan yang sulit diartikan namun memutuskan kontak mata itu dan menatap Gafur seolah-olah menyuruhnya untuk pergi dari tempat itu.

Gafur paham dengan tatapan itu tetapi, ia lebih memilih untuk tetap berada di samping El. Ia bahkan susah menyiapkan tinjunya sedari tadi, bersiap untuk menghajar wajah sok cool milik Muel.

Ketiganya lantas saling diam, tak berniat memulai percakapan dalam situasi yang mulai memanas itu.

Muel yang begitu marasa bersalah, semakin merasa bersalah atas perbuatannya kepada El. Gadisnya itu begitu terlihat tak berdaya. Separah itukah perbuatannya?

"Aku minta maaf." Kata Muel pada akhirnya. Satu kalimat itu, mampu meruntuhkan pertahan El yang telah ia bangun dengan susah payah.
Ia menangis tanpa suara.

Menjatuhkan cairan bening itu dari kedua netra indahnya yang tak lagi bercahaya.

"A-aku mau ki-kita pu-putus!"

Diam. Tak ada lagi balasan dari Muel. Ia sudah menduga hal ini sebelumnya jika El akan memilih untuk berpisah darinya.
Dan Gafur, seharusnya ia merasa bahagia karena El sudah melepaskan Muel, malahan ia yang sangat sedih. Entah mengapa, sakit rasanya melihat El yang semakin menderita.

"Oke. Maaf aku udah nyakitin kamu El. Tapi, aku bakal buktiin sama kamu kalau orang yang aku sayang itu kamu, bukan Febi." ucap Muel sungguh-sungguh. Hanya saja El sudah terlalu sakit dan tak lagi ingin mempercayai kata-kata pria itu.

"Basi!" Sanggahnya cepat sembari berlari dari tempat itu meninggalkan Gafur dan Muel yang masih terdiam.

"Selamat yah, udah nyakitin cewek yang sangat dijaga sama Ayahnya. Tingkatkan!" Kata Gafur tajam sembari melangkah meninggalkan Muel yang kini masih diam membisu.

Ia tak tahu harus apa sekarang. Cahayanya sudah pergi dan satu-satunya cara adalah membalikan kepercayaan El, meski tak mudah. Yah, ia tahu. Sebab itulah konsekuensi dari mempermainkan hati seseorang. Kehilangan dan akan sangat sulit, bahkan tak mungkin untuk meraihnya kembali.

Dari kejauhan Febi menatapnya sedih. Ia juga melihat bagaimana kejadian singkat menyayat hati beberapa saat yang lalu.

Jangan kecewakan aku selagi aku mempercayaimu.
Sebab sangat susah untuk kembali percaya padamu yang sudah melukaiku.
EL

Hope you like it💜

Muel & ElTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang