With you

32 5 0
                                    

20 .. (tahun-tahun bahagia, semoga)

"Nih, sebutkan kebiasan-kebiasan aku, cepet!"

"Suka ngemil es batu, mood-nya gampang hilang, suka ngomong ini itu, terus apa lagi yaa? Bentar mikir dulu, oh iya takut sama laki-laki."

"Ini itu apa heh? Yang terakir disensor, ntar dikira belok, ih."

"Emang kenyataan kan,"

"Yaampun, Muel! Terus suka ngomong ini itu apaan?"

"Pokonya banyak hal Intinya suka ngomong."

"Aku cerewet gitu?"

"Ngak juga sih, tapi suka ngomong."

"Lah? Iya deh iya. Semoga nggak bosan, hehe."

"Iya sayang."

"E-eh ngo-ngomong apa barusan?"

"Nggak!"

"Ih Muel!"

**

Hari ini, entah di tahun keberapa aku masih bersama dengan orang-orang di sekitarku dulu. Setidaknya tahun-tahun penuh air mata itu sudah kelewati. Barcode, rambut pendek, dan lain-lainnya sudah kulewati dan sudah kubuang jauh dari hidup. Yah, healing-ku berhasil berkat mereka.

"Eh gila si, masa aku ditelfonan sama kak Felix semalam. Demi apa si?"

Venti masih selalu cerewet seperti biasa. Ia tak banyak berubah, hanya postur tubuhnya yang lebih indah dari sebelumnya.

"Aku dong udah jadian sama Ferdi, kamu kapan sama kak Felix? Perasaan dari dulu digantung mulu, haha."

Dan Febi? Ah, aku dan dia sudah berteman sekarang. Venti pun sudah memaafkannya. Lupakan kelakuannya dulu, itu hanya bagian dari masa pertumbuhan dan perkembangannya sebagai individu. Setidaknya seperti itu yang dikatakan orang-orang.

Ah ya, rambutku sudah kupotong pendek. Jadi, tak ada lagi julukan rambut bak Rapunzel untukku.

"Eh, hari ini kita ke mana?" Tanya Febi sambil melirikku dan venti secara bergantian.
Aku hanya menggeleng ragu begitu juga Venti.

"Gimana kalau ke tempat biasa aja, lagi kepengen makan jagung bakar." Lanjut Venti setelah aku dan Venti tak kunjung memberikan jawaban kami.
Keputusan yang tepat pikirku.

 Keputusan yang tepat pikirku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

"El, gimana hari ini?" Tanya Muel.

"Biasa aja si hari ini, nggak ada yang gimana-gimana. Tadi cuman duduk sama Venti sama Febi, terus ke tempat biasa. Makannya jagung bakar, sama kolak. Eh masa si Venti mesen jagung bakarnya dua dong, mana nggak dihabisin."

Ucapku panjang sembari membayangkan bagaimana tadi aku dan febi memaksanya untuk menghabiskan jagung bakar itu. Kenapa anak itu suka sekali menyisakan makanan. Kan sayang, kataku.

"Sayang makanannya atau duitnya El?"

"Dua-duanyalah Muel. Nggak tau apa, diluar sana banyak yang nggak dapat makanan. Dan nggak tau apa susahnya nyari duit kek apa,"

Kataku masih dengan emosi yang tertahan dan Muel hanya menatapku sembari tersenyum dan aku akan terdiam dan menutup wajahku sembari menahan senyum dan debaran yang begitu gila di dalam sana. Selalu seperti itu, dan dia akan mengelus pucuk kepala sembari tertawa gemas. Begitulah dia.

"Udah ah, kamu mau teh kan, seperti biasa?" Tanyaku memecah canggung dan dia hanya tersenyum dan mengangguk.

Aku sibuk mempersiapkan minumannya dan dia sibuk dengan ponselnya, entah melihat apa. Palingan hanya film anime yang ia tonton. Selalu seperti itu, aku pernah memarahinya sekali saat makan dan ia masih saja terpaku menatap film animenya itu.

"Enakan makan sambil nonton, El." Begitulah.

Dan aku tetap tak peduli, apapun itu alasannya. Habiskan makanan barulah lanjut nonton, menghargai hal sekecil apapun itu tidak masalah bukan? Menghargai makanan dan lainnya. Begitulah kata oma.

Ia hanya tersenyum dan melahap makanannya hingga menyisahkan piring kotor tergeletak di atas ubin putih. Yaampun, kebiasaan.

**

"Tadi aja aku ujian Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal sambil telefonan, mana 5 nomor soalnya dibagi -bagi setiap orang cari jawaban. Habis itu jawabannya di parafrase. Gila ngak tuh?"

Keluh Febi padaku dan Venti sembari membanting tasnya di atas meja kedai yang sering kami kunjungi. Wajah keduanya tampak lelah hari ini setelah menghadapi berpuluh-puluh soal yang menguras pikiran. Apapun hasilnya, serahkan kepada Tuhan. Begitulah prinsip keduanya, dan aku tentu saja.

**

Ah bulan sabit. Tahun ini aku begitu menyukai bulan sabit. Entahlah, dia selalu muncul di saat aku benar-benar merindukan dia, Muel.
Aneh bukan, tadi siang aku baru bertemu dengannya dan sekarang sudah merindu lagi.

"El, kenapa bulan sabit?"

Tapi, selain itu bulan sabit selalu membawaku kepada hal-hal baik dan menemaniku di sepanjang tahun-tahun yang gelab. Karena itulah, aku begitu menyukainya dan bahkan betah menatapnya berjam-jam di balik jendela kaca di kamarku.

Terbayang lagi obrolanku bersama Venti dan febi tadi. Entahlah, sedikit mengusik malamku.

"El kenapa jadi bucin gini ya, sama Muel. "

"Jangan-jangan kamu disantet lagi sama Muel."

Ah, bodoh. Tidak mungkin. Hal-hal itu di tahun sekarang mungkin sudah punah. Lagi pula, aku tak pernah percaya akan hal-hal seperti itu.

Yang aku tahu, aku begitu mencintainya begitu juga sebaliknya. Dia begitu mencintaku dan bahkan berjanji tak pernah meninggalkanku. Itu sudah cukup.

Aku akan mencintainya, bahkan jika tak
Tercipta untukku. Mungkin ia bukan yang terbaik, tapi ia tetap pemenangnya.
El


Hope u like it💜

Muel & ElTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang