Suntik

1.1K 114 9
                                    

9 Januari 2017.

Semester baru dimulai.
Pagi ini, Muel menjemput El di rumahnya untuk berangkat sekolah bersama.

Tanpa percakapan dan tanpa senyum, begitulah Muel bahkan berhadapan dengan El yang sudah berstatus menjadi kekasihnya.

**

Setibanya di sekolah,

"Muel tungguin!" Pinta El namun tak mendapat respon dari Muel. Ia hanya berdiri dan menatap El yang sedang kerepotan membuka helm yang yang ia kenakan.

"Bisa lebih cepat?" Tanya Muel datar.

"Kalau mau cepat ya bantuin Muel." Rengek El dengan wajah memelas.

Muel pun akhirnya membantu melepaskan helm yang masih setia membelai setiap helaian rambut El. Tanpa Muel duga, El telah salah tingkah dan wajahnya telah berubah warna, menjadi merah padam.

"Nggak usah gugup El," Muel melembut. Dan lagi-lagi mampu membuat El semakin gugup. Sedangkan Muel tampak tersenyum tipis. Sayangnya, El tak melihat senyum singkat itu.

"Kalian pacaran?"
Tiba-tiba suara yang sudah tak asing, mengalun indah pada indra pendengaran kedua sepasang kekasih itu. Pria itu tersenyum penuh arti sambil menatap El dan Muel bergantian. Felix Jeyro namanya.

"Eh, a-anu itu," El terbata-bata.
Sementara itu Muel mengacuhkan hadirnya Felix dan lebih dahulu melangkah meninggalkan El dan Felix di parkiran sekolah mereka.

Meladeni orang yang tak penting dan tak berkontribusi dalam hidup sungguh membuang waktu. Mereka hanya akan mengorek  informasih dan kemudian menjadi santapan orang-orang untuk diperbincangkan. Berita yang semula baik-baik saja pun bisa menjadi sangat tidak baik-baik saja karenanya. Begitulah pemikiran Muel.
Buang-buang waktu.

**

"El hari ini kita nggak les." Ucap Venti antusias kepada El.

"Iyalah Ven, kan baru masuk tahun ajaran baru. Masa langsung les? Nggak lucu." Sambung El sambil tersenyum puas.

"Tapi hari ini sekolah ada kedatangan tamu dari rumah sakit El." Venti mulai tak bersemangat menyampaikan ucapannya. Seketika itu, senyum merekah keduanya pun menguap kala mendengar informasih tersebut.

"Mau ngapain?" Tanya El takut.

"Katanya, mau ada pemeriksaan darah." Balas Venti yang malah menakut-nakuti El dengan senyum horornya.

"A-ambil darah? U-untuk apa?" Tanya El lagi yang sudah tak bisa menahan ketakutannya.

"Untuk cek positif apa enggak." Venti yang semula tak bersemangat, kini bersemangat kembali dikarenakan El yang tampak ketakutan setengah mati dibuatnya.

"Positif negatif apa?" Lagi-lagi El bertanya.

"Penyakit. Hiv aids. Udah jangan tanya-tanya lagi. Intinya, kamu siapin hati El." Jawab Venti mantap sambil berlalu meninggalkan El yang sudah pucat pasi.

"Mati aku."

**

09: 00 am.

"Urutan pengambilan darahnya, sesuai tempat duduk kalian. Maksimal jumlah siswa yang melakukan pengambilan darah adalah dua orang. Terima kasih, dan sekali lagi jangan takut." Ucap salah seorang dokter wanita berkaca mata persegi di hadapan semua siswa dan siswi berseragam SMA itu.

Beberapa siswi sudah pucat pasi sementara yang lainnya tampak biasa-biasa saja. Ada beberapa siswa yang terkenal nakal, sedang menakut-nakuti para siswi yang ketakutan terhadap suntik.
Ada beberapa siswa juga yang tetap tenang dan diam di tempatnya. Salah satunya adalah Muel.

"Muel mana si?" Gumam El pelan, agar tak didengar oleh Venti yang begitu diam seakan membeku di tempatnya.

09 : 47 am.

"El giliran kamu." Ucap salah seorang wanita di belakangnya.

El berjalan sendiri keluar dari aula sekolahnya, dikarenakan Venti yang sudah lebih dahulu pingsan akibat pengambilan darah tadi.

"Muel mana si?" Ucap El sesaat setelah ia sudah diwawancarai oleh seorang dokter pria, yang memang telah ditugaskan untuk mewawancarai siswa dan siswi sebelum pengambilan darah dilakukan.

"Aku di sini." Ucap Muel yang datang tiba-tiba dengan secarik kertas di tangannya.

"Mu-Muel," El terbata-bata hampir saja menangis, namun ditahannya sekuat tenaga.

"Takut?" Tanya Muel datar.

"I-iya." El menunduk, menarik ujung seragam Muel dan memainkannya.

"Kenapa takut?" Tanya Muel.

El mendongak dengan wajah memelas dan wajahnya  yang sudah merah padam dikarenakan tatapan Muel yang tak lepas untuk menatapnya.

"Suntiknya." Jawab El. Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan Muel.

"Hm. Aku duluan." Ucap Muel dan segera pergi ke petugas medis khusus untuk mengambil darah.

El menatap ngeri lengan Muel yang sudah ia sodorkan untuk pengambilan darah.
Muel tetap memasang wajah datar tanpa sedikit pun merasa terusik akibat sengatan jarum suntik yang menyedot darahnya.

El kembali pucat pasi saat melihat tabung suntik yang sudah terisi dengan darah Muel.

"Ba-banyak amat darahnya." Kata El takut.

"El giliran kamu." Kata salah seorang guru pengampuh mata pelajaran biologi yang sedari tadi menyaksikan ketakutan El.

"Pak, saya nggak bisa." El memohon.

"Eh, tidak bisa begitu. Harus dicek biar tahu postif atau tidak." Balas Pak Nadus dengan tegas.

"Giliran kamu." Muel pun muncul dengan jemari tangannya yang menekan kapas bekas jarum suntik yang tadi menyedot darahnya.

El pun melangkah dengan pelan sembil menyembunyikan lengannya di belakang punggungnya. Muel tersenyum tipis melihat tingkah El yang menurutnya lucu itu.

Tapi, Muel tetaplah Muel yang tak ingin mengekspresikan suasana hatinya.

Setelah El mendudukkan dirinya pada kursi plastik berwarna biru itu,

"Dokter, saya belum ngapa-ngapain kok jadi saya sudah pasti negatif." Mohon El.

"Harus dicek dek. Maaf ya," wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum geli ke arah El.

El berteriak histeris saat wanita itu menarik lengannya, dan mengikatnya dengan selang bening berukuran kecil.

"Tangannya dikepal ya," ucapnya pada El.

El sudah menangis sembari menatap guru biologinya yang sedang mengacungkan jempol ke arahnya.

"Hei udah," ucap Muel yang tiba-tiba sudah berdiri sambil mengelus surai indah milik El.

"Jangan lihat suntiknya, lihat aku." Sambungnya.

El tak kunjung menatapnya karena menahan perih akibat jarum suntik yang tiba-tiba menusuk ke dalam pembuluh darahnya.

"Buka kepalannya." Ujar sang dokter.

"El, lihat aku!" Muel melembut, dan El pun menatapnya.

Di sepersekian detik, netra keduanya beradu. Hingga,

"IBU DOKTER UDAH, DARAHKU HABIS." Teriak El kencang dan dihadiahi tawa dari beberapa guru dan siswa. Tak ketinggalan juga para dokter yang mendengarnya, terkecuali Muel yang masih terus menatap El sembari menggenggam tangnnya.

"Udah dek." Ucap dokter wanita itu.

El tak bersuara. Ia hanya diam dengan air mata yang terus mengalir deras di kedua pipi mulusnya. Muel merangkulnya, tanpa memperdulikan netra para guru yang sedari tadi terus menatap setiap gerak-gerik keduanya.

"Jangan nangis lagi El. Ada aku." Ucap Muel sambil mengeratkan rangkulannya.

Terima kasih sudah ada dan mengalihkan rasa sakitku yang tertanam dengan rangkulan kasihmu yang tak terelakkan.
El.

Muel & ElTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang