6. The House

2.2K 500 29
                                    

"Takut, ah."

"Yah jangan gitu deh. Mumpung lho ini, Li. Kapan lagi bisa nonton Stars and Rabbit di food festival, coba? Lagian nggak sama gue aja. Ada Rena juga."

"Tapi kan, Don, dia pasti nggak izinin."

"Nenek izinin kok. Barusan gue telepon."

"Doni, kok gitu sih?"

"Ya lagian lo nggak bakal berani cuma izin ke Nenek aja. Padahal Nenek nggak mungkin nggak izinin lo pergi ke food festival doang. Siang juga, nggak malam."

"Tapi Yonggi?"

"Ya itu tugas lo buat izin."

"Itu sih sama aja, Don."

"Gue bantu doa dari sini. Udah, sana telepon. Sejam lagi gue jemput. Bye, ciwikku!"

Telepon terputus. Menghela napas, aku memandangi ponsel yang menampilkan chat room dengan Doni. Siang ini, tiba-tiba dia mengajakku ke food festival yang ada di kota ini. Kebetulan hari ini kami memang berbarengan tidak ada kelas. Padahal rencananya aku mau mengurung diri di kamar saja seharian. Sebenarnya aku juga ingin sekali menonton Stars and Rabbit, band indie kesukaanku itu. Tapi aku kembali ingat larangan Yonggi untuk tidak pergi selain ke kampus.

Ya, sejak dulu Yonggi jarang mengizinkanku menikmati waktu di luar rumah selain sekolah, atau kampus saat ini. Bahkan main ke panti asuhan tempat Renata tinggal saja, aku tidak boleh. Pernah sih, tapi bisa dihitung jari semenjak aku kenal Rena hingga saat ini. Aku mengenal Stars and Rabbit juga dari Youtube. Jika pun aku keluar, itu biasanya ketika Nenek merasa kasihan dan meminta Yonggi mengajakku jalan. Jadi ya aku akan pergi bersama Yonggi, itu pun paling hanya sebatas di Vinint Cafe, tempat kerja dia.

Karena itu, aku ragu jika minta izin Yonggi sekarang. Tapi Doni dan sifat pemaksanya juga kadang susah kuabaikan. Padahal dia tahu betul bagaimana kemarahan Yonggi jika aku tidak menurut.

"Lili?"

Aku menoleh, menemukan Nenek sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Beliau melangkah masuk, dengan senyum tak lepas dari bibirnya. Kemudian mengambil duduk di sebelahku.

"Lili mau pergi jalan-jalan? Tadi Doni sudah izin Nenek."

Aku menatap Nenek ragu. "Tapi Yonggi?"

"Nanti Nenek yang bilang kalau Tomi sudah pulang kerja."

Aku menggigit bibir, menundukkan kepala. Tetap saja, meski Yonggi tidak pernah membantah atau marah pada Nenek, aku tidak mau menjadikan beliau sebagai tameng. "Lili telepon Yonggi aja."

Nenek mengelus punggung tanganku. "Mau begitu saja?"

Aku mengangguk. "Nanti Yonggi marah kalau Lili nggak izin dulu."

"Ya sudah." Usapan Nenek berganti ke lengan atasku. "Nenek ke depan dulu, ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Setelah Nenek berlalu, aku mengembuskan napas berat. Entah berapa menit merenung dengan pandangan tertuju ke ponsel, sebelum akhirnya memantapkan diri untuk menghubungi nomor Yonggi.

"Hm." Langsung diangkat. Mungkin dia sedang istirahat.

"Yonggi, aku ... a-aku mau minta izin." Tolong maklumi aku. Dalam keadaan biasa saja aku kesusahan bicara lancar kepadanya, apalagi sekarang?

"Izin apa?" balasnya, ketus seperti biasa.

"A-aku ...," kuremas jemari kuat-kuat. "Doni ... aku ... D-doni ajak pergi ke food festival."

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang