10. Tersenyum Dalam Luka

2.5K 586 75
                                    

Warning: ada adegan yang mengandung hal-hal berbau kekerasan pada diri sendiri. Dimohon bijak dalam membaca dan jangan ditiru ya. Thank you ♥️

***

Ketika aku dan Rena mengikuti Om Kevin masuk Vinint, pengunjung sedang banyak-banyaknya. Karena Om Kevin mengajak kami makan di ruang bawah tanah, dari jendela aku sekilas melihat Yonggi sedang sibuk memasak. Lalu yang membuatku terkejut, dia juga sempat menoleh hingga kami bertatapan tapi kemudian aku memilih memutus kontak mata dan buru-buru menyusul Rena.

"Lili mau makan apa?" tanya Om Kevin ketika kami sudah turun ke ruangan yang kata Rena, sebagai tempat berkumpul Om Kevin dan teman-temannya itu.

"Apa aja, Om."

Om Kevin mengerutkan hidung. "Kamu mah gitu. Sama Bian panggil 'Abang', sama aku kok panggil 'Om'? Padahal aku sama Bian aja tuaan Bian."

Aku hanya meringis dan menggumamkan maaf. Sebenarnya ini kebiasaan dari dulu pertama kali Rena memperkenalkan Om Kevin padaku dan Doni. Karena Doni memanggil 'Om', aku juga spontan mengikutinya. Lagipula jarak umur kami cukup jauh yaitu dua belas tahun. Tapi saat aku berkenalan dengan Bang Bian dan Bang Panji untuk pertama kalinya, mereka menyuruhku memanggil 'Abang'. Itulah kenapa panggilan untuk mereka berbeda.

Oh ya, ngomong-ngomong Om Kevin dan Bang Panji adalah pemilik kafe Vinint ini. Yang artinya, mereka adalah bos Yonggi. Sedangkan Bang Bian adalah sepupu Bang Panji yang dulu pernah menjadi kepala koki di sini. Tapi setelah Bang Bian memutuskan keluar untuk mendirikan restoran sendiri, jabatan itu diserahkan kepada Yonggi yang memang merupakan koki senior. Ada juga Bang Raihan yang dulu menjadi manajer, tapi sekarang sudah keluar dan posisi itu kini diisi oleh Om Kevin.

Yonggi bekerja di sini setelah lulus SMA, sambil kursus. Bisa dibilang, bekerja sambil belajar. Dari yang belum banyak memahami tentang masakan sampai sekarang menjadi jago menurut Nenek. Jika dihitung-hitung, hampir delapan tahun dia di sini. Dan itu menunjukkan sebesar apa pengorbanannya agar kami hidup layak.

"Eh, Tom!"

Aku mendongak dan menemukan Yonggi sedang berjalan menuruni anak tangga. Badannya masih berbalut celemek. Dia melepaskan benda itu sambil berjalan, lalu mendudukkan diri di sebelahku.

"Barusan gue tanya Lili mau makan apa, tapi katanya apa aja." Om Kevin mulai bicara. "Lili nggak masalah makan apa aja, Tom?"

Yonggi berdecak, melirikku tajam hingga aku menunduk. "Jangan yang pakai ayam sama telur negeri aja. Sama jangan ada tomat."

"Alergi?"

"Iya. Gue udah minta Ari bawain ke sini kok, Bang. Tunggu aja."

"Oke kalau gitu." Om Kevin beralih menatapku. "Lain kali, Lili bilang aja. Alergi kan nggak bisa dianggap sepele. Nggak usah malu kalau sama aku."

"Maaf." Ya, aku memang malu. Tapi lebih besar takutnya. Bagaimanapun aku tidak terlalu akrab dengan Om Kevin, jadi aku khawatir salah bicara. Ini lingkungan tempat Yonggi. Aku tidak mau membuat dia dalam masalah.

"Makanannya belum datang, A?" Rena yang baru keluar dari kamar mandi, kini duduk di antara aku dan Om Kevin.

"Belum, Ta." Om Kevin menaikturunkan alis. "Tata calon istrinya Aa Epin, udah laper banget ya?"

"Bangeeet!"

"Ulu ulu ulu kasihan my honey bunny sweety." Om Kevin menguyel-uyel kedua pipi Rena sambil memasang wajah iba. "Sabar ya, sayangku. Sini peluk Aa aja biar lapernya ilang."

Aku tersenyum kecil melihat mereka Benar-benar berpelukan. Masih merasa heran dan susah percaya, bahwa Om Kevin yang dari dulu dianggap kakak, om atau nyaris seperti ayah bagi Rena, kini malah akan segera menikahi sahabatku ini. Awalnya Rena mau protes dan tak terima, tapi pada akhirnya ikhlas karena menganggap bahwa keputusan mama dan nenek Om Kevin adalah demi kebaikan. Tapi rasanya tetap geli melihat mereka seperti ini, karena yang terlihat masih seperti ayah-anak dan bukan sepasang tunangan.

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang