4. Andai Aku Sekuat Rena

3.2K 558 45
                                    

"Seneng banget lo, Ren, cuma diajak jalan doang?"

"Jelas, dong! A' Epin tuh akhir-akhir ini sibuk banget sama kafe, jadi kita jarang ketemu. Ke panti juga dua bulan sekali. Kan aku kangen!"

"Alah, sama om-om aja!"

"Biar om-om tapi tetep ganteng!"

"Huwek! Najis!"

"Cemburu? Bilang bos!"

"Gue? Cemburu sama om-om? Gue? Doni ganteng, muda dan idaman dedek gemes ini? Ha ha."

"'Ha ha' kamu itu mengandung kebohongan hakiki."

"Emang! Nggak tahu sih lo, rasanya dicurhatin sama mantan, kalau dia lagi mau jalan sama cowok lain. Di sini tuh rasanya mantap banget, tahu." Doni memegang dadanya dengan ekspresi pura-pura kesakitan.

"Lebay!" Gadis di sampingku memutar bola mata. Lalu menunjuk ke arah udara di samping kiri Doni. "Tuh kata Eliza, kamu harus move on. Move on, you know?!"

"Bilangin Eliza, move on tuh nggak segampang dia yang bisa terbang sepersekian detik dari panti asuhan ke sini!"

"Eliza mau kok dijadiin pelarian. Entar biar Eliza kasih cinta yang tak terhingga sepanjang masa bagai sang surya menyinari dunia." Rena mengedip-ngedipkan mata, menunjuk udara di sebelah Doni lagi. "Tuh bocahnya udah nempel di pundak kamu!"

Gadis bernama lengkap Renata Adinda ini memang punya kemampuan istimewa. Dia bisa melihat makhluk tak kasat mata. Tidak semua tapi hanya beberapa. Contohnya Eliza, gadis Belanda yang dulu meninggal di tanah yang kini menjadi bangunan panti asuhan.

Doni melotot, langsung berdiri kemudian mengibas-ngibaskan pundaknya. "Pahit pahit pahit! Suruh jauh-jauh dari gue kek, Ren. Gue nggak mau ya sama hantu. Hush hush! Pergi lo, El. Pergi!"

Rena sudah terpingkal-pingkal melihat bagaimana wajah panik Doni. Kulihat beberapa orang di kantin ini ikut tertawa, tapi banyak juga yang justru menatap Rena dengan sinis secara terang-terangan. Bukan hanya karena dia terkenal sebagai mantan pacar Doni, salah satu jajaran laki-laki good looking di kampus ini. Tapi juga karena kemampuan gadis ini yang bisa melihat makhluk tak kasat mata, membuatnya selalu dijuluki sebagai cewek freak. Sama sepertiku yang dijuluki si buruk rupa karena bekas luka di wajahku.

Tapi seperti biasanya, Rena tidak menggubris banyak pasang mata yang menatapnya tak suka. Dia adalah tipe gadis cuek dan tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain. Meski merupakan anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan, nyatanya itu tak lantas membuatnya minder. Kadang aku ingin bisa seperti dia, memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Tapi aku selalu gagal. Memulai pembicaraan dengan teman selain Rena dan Doni saja aku takut. Selemah itu aku memang.

"Gue ke ruang BEM aja, deh, daripada ditempelin Eliza!" Masih dengan posisi berdirinya, Doni mencangklong tas.

"Eliza mau ikut, tuh!"

Doni melotot. "Awas aja! Nggak bakal gue beliin permen kapas lagi."

"Yah, nggak asyik." Rena cemberut menatap udara di samping Doni. "Masa kamu langsung luluh sih, El, cuma diancem pakai permen kapas doang?"

"El kan lebih pro sama gue kalau soal permen kapas." Doni tersenyum sombong. "Dah ah gue pergi. Makan kalian gue bayarin sekalian. Kurang baik apa gue?"

"Iya, baik banget," ucapku tersenyum geli.

"Emang." Doni mengedipkan sebelah mata, mencubit pipiku dan menepuk puncak kepala Rena. "Dadah cewek-cewekku."

Rena berekspresi seperti mual sesaat setelah Doni berlalu. Sedangkan aku hanya menggeleng kecil.

"Sepupu kamu tuh, Li. Sompral."

Aku kembali tersenyum. "Mantan kamu, Ren."

Rena tertawa kecil, kemudian menyeruput es jeruknya. Ya, Doni memang mantan pacar Rena sekaligus sepupuku. Lebih tepatnya, sepupu Yonggi. Dulu saat kecil kami tidak dekat. Tapi sejak aku jadi juniornya di SMA, kami jadi berteman.

"Kamu jalan sama Om Kevin doang atau orang tuanya juga?" tanyaku setelah menandaskan mi ayamku.

"Sama Om, Tante juga." Rena tersenyum lebar. "Aku seneng banget. Kan udah lama nggak ketemu juga. Cuma Oma yang sering datang ke panti. Eliza juga kangen ngobrol sama Om Romi."

Aku ikut senang melihat wajah bahagia Rena. Dia memang sangat akrab dengan Oma, ibu Om Romi yang merupakan pemilik panti asuhan tempatnya tinggal. Om Kevin—aku memanggilnya begitu gara-gara Dion, juga karena umur orang yang hanya beberapa kali bertemu denganku itu memang cukup jauh di atas kami—adalah anak dari Om Romi. Rena sering menceritakan bahwa dia dekat dengan Om Kevin sejak bayi. Sejak dia ditemukan Oma di depan gerbang panti, katanya Om Kevin yang selalu merawatnya. Bahkan Om Kevin banyak menghabiskan masa remajanya di panti asuhan. Rena sering bergurau kalau mereka bahkan lebih mirip ayah dan anak.

Kadang aku ingin seperti dia dan Om Kevin. Aku dan Yonggi juga dekat sejak kecil, bukan? Tapi nyatanya tidak bisa. Aku bahkan belum bisa mengingat karena masih terlalu kecil, kejadian yang membuat dia begitu membenciku. Sebuah alasan yang selalu dia lontarkan tiap kali aku merasa tidak tahan lagi dengan sikap buruknya. Alasan yang sama, kenapa dia kehilangan kasih sayang orang tua.

"Kamu itu parasit. Kamu dan ibu kamu, adalah kesialan yang datang bagai badai yang ngehancurin hidup kami. Aku benci banget sama kamu, sampai rasanya mau mati." Itulah kata-kata yang sering dia ucapkan padaku ketika sedang banyak pikiran dan butuh pelampiasan.

Aku tidak bisa melawan. Bukan karena aku hanya gadis lemah. Bukan juga karena dia delapan tahun lebih dewasa dariku. Lebih dari itu. Dan aku memaklumi karena memang sewajarnya dia membenciku, membenci kami.

Siapa juga yang akan menerima dan tidak membenci setengah mati, perempuan penghancur rumah tangga orang tuanya? Yang membuat ayahnya pergi dengan perempuan itu? Yang membuat ibunya depresi dan bunuh diri, di saat dia baru berumur sebelas tahun? Tidak ada yang sanggup.

Dan yang harus menanggung penebusan dosa lima belas tahun lalu adalah aku.  Anak dari perempuan itu.

***

Ingat nggak, aku pernah kasih secuil kisah Tomi di lapak Agnes? Jadi paham kan kenapa si Tompel atau Tomi atau Yonggi kasar sama Lili? Ya gitu deh hehe

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang