15. Berhenti, Lili

3K 635 130
                                    

Ini panjang.

*

Aku tahu tadi pingsan lagi. Dan saat sadar, telapak tanganku terasa berat dan susah digerakkan. Ketika menunduk untuk melihat, aku sedikit terkejut mendapati siapa yang kini sedang menggenggam tanganku.

"Rena?"

Rena mendongak. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Lalu matanya yang merah, menitikkan cairan bening.

"Lili ...." Dengan suara serak, dia bangkit lalu memelukku yang masih berbaring. Tangisannya begitu keras dan sedih. "Maafin aku, Lili. Maaf."

"Ren?" Dengan tangan yang tak diinfus, aku mengusap-usap punggungnya. "Rena minta maaf kenapa? Kan nggak salah."

"Aku sahabat yang jahat." Rena berkata lirih. "Aku nggak ada waktu kamu butuh bantuan. Seandainya aku nggak bolos, kamu nggak bakal nerima perlakuan kayak gitu. Seandainya aku temenin kamu, mereka nggak akan jahatin kamu. Maaf."

"Kamu kan lagi nggak enak badan."

"Tapi nggak enak badannya cuma dikit. Akibatnya fatal. Aku nggak jauh beda dari mereka yang jahat."

"Jangan ngomong gitu," kataku, pelan. "Kamu sahabatku. Orang yang berharga buat aku. Hanya karena tadi kamu nggak ada di sana, bukan berarti kamu jahat. Udah ya, aku nggak suka kamu merasa bersalah gini."

Pada akhirnya Rena mengangguk. Lalu dia melepas pelukan dan duduk kembali ke kursi. Tanganku digenggamnya erat. Wajahnya terlihat begitu kacau dan pucat. Air matanya masih turun.

"Kamu dikasih tahu siapa?" tanyaku.

Rena mengusap pipinya yang basah sambil menjawab, "Doni."

Aku mengangguk-angguk. Terdiam sebentar sebelum menghela napas dan berkata lirih, "Rena, aku ... godain Doni ya?"

"Enggak." Rena menjawab terlampau cepat. "Kamu nggak pernah godain siapa pun. Mereka aja yang jahat. Mereka iri karena Doni baik sama kamu. Hati mereka yang hatinya nggak baik."

Kuembuskan napas berat. Mataku menerawang, ketika terpikirkan nama Yonggi. Bagaimana ini? Yonggi pasti sangat marah karena aku malah pingsan dan dia pukul-pukulan dengan Doni. Bagaimana cara aku menghadapinya nanti?

"Ini udah malam?"

Rena mengangguk, meringis. "Kamu pingsannya lumayan lama. Kamu ... udah baikan? Masih pusing? Atau ada luka selain leng—rambut?"

Aku menggeleng, lebih ke tidak tahu. Kuraba rambut yang pasti sangat tak beraturan. "Jelek ya?"

Rena menggeleng cepat. "Nanti ... kalau udah keluar dari rumah sakit, kita rapiin rambut kamu. Aku sendiri yang bakal rapiin. Kamu tahu kan keahlian seorang Renata yang cantik jelita ini? Semua penghuni panti aja ngakuin kalau aku jago jadi tukang potong rambut. Nggak usah khawatir. Besok aku bikin rambut kamu jadi cantik. Biar iri si Jessinting itu. Lihat aja!"

Aku tersenyum tipis. "Makasih."

Rena mengangguk. "Marah banget aku sama Jessinting. Dia nggak tahu aja udah berurusan sama siapa. Sekarang boleh aja dia lega dan senang, tapi nanti mulai jam dua belas malam, bakal nggak tenang hidupnya. Nggak bakal dia lolos dari versi terserem mukanya Eliza. Tunggu aja."

"Ren, jangan bawa-bawa Eliza."

"Biarin. Biar tahu rasa."

Aku menghela napas. Aku memang tak pernah mempermasalahkan Rena yang bisa berinteraksi dengan Eliza. Tapi kadang aku khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi padanya.

"Li, kamu beneran udah baikan?"

Aku mengangguk. "Iya, Ren."

Rena menggenggam tanganku, menatap dengan wajah sendu. "Aku sahabat kamu, Li. Aku ... bakal sakit banget kalau kamu sakit. Tolong, Li, apa pun yang terjadi, datang ke aku aja. Jangan ke—Lili ...."

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang