8. Selamat Pagi, Lili

2.3K 550 54
                                    

"Selamat pagi, Lili."

Sapaan hangat dan bersahabat itu membuatku mematung di depan pintu. Bukan, tentu bukan Yonggi atau Nenek yang menyambutku di ruang makan, di pagi bergerimis ini. Nenek sedang menginap di rumah Tante Nela. Sedangkan Yonggi, yah ... aku tidak sedang di rumah.

"Sini, Li, duduk sini. Abang masak bubur kacang ijo. Ada roti bakar juga kalau kamu kurang suka bubur."

Aku tersenyum tipis, lalu duduk di kursi yang baru saja dia tarikkan untukku. Kuperhatikan celemek yang masih melekat di tubuhnya sambil meringis. "Maaf, Lili ngerepotin."

Dia yang baru meletakkan panci di atas meja, menoleh sambil tersenyum kecil. "Enggak ngerepotin. Abang mah tiap pagi masak." Lalu wajahnya sedikit condong ke arahku untuk berbisik, "Kak Agnes kan nggak bisa masak."

Mataku mengerjap, tapi belum sempat menanggapi, aku dikejutkan oleh sosok yang baru keluar dari sebelah kamar yang kutempati semalam. Dengan rok selutut dan blus lengan tiga per empat. Rambutnya dicepol hingga menambah kesan imut dan cantik pada wajahnya.

"Hayo bisik-bisik, ngomongin aku ya?" katanya, lalu menduduki kursi di sebelahku. "Pagi, Lili. Aku semalam belum sempet sapa kamu. Nggak tega ih, kamu tidurnya pulas banget."

"Pagi, Kak Agnes." Aku tersenyum kaku. "Maafin Lili, karena numpang di kamar Kakak."

"Nggak masalah. Lagian aku bisa tidur di kamar Bangbi." Kak Agnes tersenyum lebar. "Bajunya cocok nggak?"

Aku mengangguk. "Makasih banyak."

"Sama-sama. Eh bel bunyi. Aku buka pintu dulu."

Aku terdiam, memandangi Kak Agnes yang berlalu menuju pintu depan. Lalu memandangi dress jeans selutut lengan panjang yang kupakai. Aku menemukannya ketika bangun tidur, dilengkapi notes dari Kak Agnes di atasnya yang mengatakan bahwa dia menyiapkan ini untuk kupakai besok. Aku tahu dan sadar betul bahwa dia memang sangat baik. Aku juga mewajarkan keberuntungannya yang dilimpahi kasih sayang oleh banyak orang, termasuk Yonggi. Masalahnya, aku yang tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa iri. Salahnya memang ada di aku.

"Eh, halo."

Aku menoleh, mendapati seorang laki-laki berpakaian rapi yang masuk diikuti Kak Agnes. Dia tersenyum ramah, meski tidak seramah Bang Bian.

"Kamu adiknya Tomi, ya?" Laki-laki itu duduk di seberangku, lalu mengulurkan tangan. "Kenalin, saya Dave. Panggil 'Abang' aja ya."

Aku membalas uluran tangannya. "Lili."

Lalu Kak Agnes duduk di sebelah laki-laki itu sambil tersenyum lebar. "Dia pacarku, Li."

Mataku mengerjap. Pacar?

"Kok kelihatan kaget?" Kak Agnes menyipitkan mata. "Kamu ... nggak mikir kalau aku sama Tompel jadian kan?"

Aku hanya meringis, kemudian menggeleng malu. Sementara Kak Agnes dan Bang Bian tertawa geli. Sebenarnya iya. Bagaimana aku tidak menyangka begitu, kalau Yonggi dan Kak Agnes kelihatan sangat akrab dan saling peduli? Tidak akan heran kalau mereka menyukai satu sama lain.

"Kalau aku sama Tompel, Li, berasanya aku pacaran sama Bangbi." Kak Agnes bergidik geli. "Bayanginnya aja udah ngeri."

"Dan saya juga nggak akan rela, Li." Bang Dave menyela, membuat Bang Bian menyorakinya.

"Dasar bucin." Bang Bian meletakkan mangkuk berisi bubur kacang hijau di depanku. "Makan, Li. Mumpung masih anget."

"Makasih, Bang."

Lalu kami memulai sarapan. Tidak seperti saat aku di rumah, yang jika makan tidak pernah ada interaksi, di sini justru aku seperti merasakan kehangatan. Meski sedari tadi aku banyak diam, tapi melihat bagaimana Bang Bian dan Kak Agnes bercanda yang ditimpali Bang Dave juga, aku diam-diam ikut tersenyum. Entahlah. Aku sedikit tidak menyesal karena nekat pergi semalam.

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang