Nenek pernah bilang, jika hidup bukan tentang berusaha melakukan segala hal agar orang lain senang pada kita. Hidup adalah menikmati dan mensyukuri setiap detik waktu yang Tuhan berikan dengan cara terus berbahagia. Membahagiakan diri sendiri, lebih tepatnya. Sehingga kita menerima segala kekurangan maupun kelebihan yang ada dalam diri, tanpa menyalahkan siapa pun. Jadi saat orang lain meremehkan dan tidak puas dengan kita, tak ada kesedihan yang dirasakan. Cukup tersenyum dan jalani kehidupan seperti air mengalir.
Dan saat ini, aku sedang berusaha menerapkan itu pada diriku sendiri. Aku berusaha untuk tidak bersedih atau terluka, ketika mendapatkan banyak sekali tatapan ganjil dari kebanyakan mahasiswa di kampus ini. Menatap lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah mulut-mulut yang sedang berbisik itu.
"Liliana Bunga!"
Tapi untuk suara barusan, aku tetap harus berhenti. Menunggunya yang berjalan menyusul, kemudian berdiri menjulang tepat di hadapanku. Dia adalah satu dari sedikit orang yang tidak bisa kuabaikan.
"Apa?" tanyaku pelan.
Dengan wajah sumringah dan senyum lebar, dia berkata, "Jalan yuk, Li."
Aku mendongak menatapnya, kemudian melewatinya begitu saja setelah melirik beberapa orang mulai kasak-kusuk memperhatikan kami.
"Tunggu, dong!" Dalam satu per sekian detik, dia sudah menyejajari langkahku. "Ayolah, Lili anak baik hati dan cantik tiada tara. Kita jalan, ayuk!"
Baik hati? Cantik? Senyumku tersungging tipis sambil meraba bagian bawah pipi kiri.
"Senyum artinya iya?" Dia berseru keras sambil mengepalkan kepalan tangan di udara. "Yes!"
"Eh." Aku menurunkan kepalan tangannya. "Kata siapa?"
Dia memutar bola mata sambil cemberut. "Barusan yang lo lihat lagi ngomong, siapa? Gue kan?"
Aku mengangguk, tersenyum geli. "Tapi aku nggak bilang iya."
"Tapi lo senyum!"
"Emang nggak boleh senyum? Nenek bilang, aku harus sering-sering senyum." Agar wajahku tidak tambah menyeramkan, tambahku dalam hati. "Tapi bukan berarti aku bilang iya."
"Terus kapan lo nggak nolak kalau gue ajak jalan?"
Aku mengangkat bahu. "Lagian, kamu kan bisa ajak Rena."
"Tapi kan gue maunya sekarang. Rena lagi ngurusin adik kembarnya yang kompakan sakit."
"Ya udah sabar."
"Ayolah, Liii!"
"Aku harus langsung pulang, Don."
Dia mengerang kesal, tapi tetap saja tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah keputusanku. Ardoni Fikri. Laki-laki yang merupakan kakak tingkatku ini, memang merupakan teman dekat yang kupunya di kampus ini. Satu dari sekian alasan kenapa banyak orang sering membicarakanku baik di depan maupun belakang. Mereka pasti terheran-heran, kenapa aku bisa dekat dengan anggota BEM kampus ini. Yang kemudian memunculkan berbagai gosip tak mengenakkan, tapi tak pernah kugubris.
"Ah, paham gue sekarang."
Aku menoleh, ikut menghentikan langkah. Lalu mataku mengikuti arah pandangnya. Pada sebuah mobil berwarna merah yang berada di parkiran fakultas seni. Sekejab, pandanganku terhalangi badan Doni yang berdiri menjulang di depanku. Wajah kesalnya makin kentara.
"Lo bilang mau nurutin diri sendiri buat bahagia. Tapi kenapa kalau sama Tomi, lo enggak?"
Aku hanya tersenyum tipis. Ya, aku memang tidak akan membiarkan orang lain mengatur caraku hidup. Tapi Nenek dan Yonggi? Mereka pengecualian.
"Kamu tahu sendiri alasannya." Kudorong badannya agar bergeser, kemudian kakiku melanjutkan langkah mendekati mobil Yonggi.
Sampai di sana, aku melihat Yonggi duduk di atas kap mobil. Badannya masih terbalut seragam kerja berupa jaket koki berwarna hitam dan bertuliskan Vinint di bagian dada kiri. Dia sedang berbicara di telepon sambil tertawa renyah. Dari caranya memanggil 'Ndong' dan candaan-candaan yang dia lempar, aku tahu siapa yang di seberang sana. Sahabat perempuannya. Kak Agnes. Dan melihatnya terlihat bahagia seperti itu, aku hanya bisa mematung.
"Tom!"
Baru saat telingaku menangkap panggilan Doni yang berdiri di sebelahku, aku tersentak. Kulihat raut senang Yonggi berubah datar setelah menoleh pada kami. Dia berbicara beberapa kata sebelum menutup panggilan. Lalu melirikku sekilas sebelum menatap Dion.
"Ngapain lo?"
"Mau minta izin." Doni berkata dengan riang. "Gue jalan sama Lili ya hari ini?"
"Mau ngapain? Nggak usah aneh-aneh!" Yonggi melirikku lagi. "Masuk."
Aku menurut. Berjalan pelan dan duduk di bangku penumpang depan. Dari kaca, aku bisa melihat Doni yang masih berusaha membujuk tapi Yonggi menanggapinya dengan santai bahkan sesekali bercanda. Aku hanya bisa mengalihkan pandangan sambil menghela napas.
Tak lama, pintu kemudi terbuka. Yonggi masuk dan duduk di sana. Raut wajahnya berubah datar lagi.
"Uang semesteran gimana?" tanyanya ketika mobil meninggalkan kampus.
"Udah aku bayar. Makasih." Dia tidak merespon bahkan hanya anggukan sekali pun. "Tapi kamu transfernya kebanyakan. Aku transfer balik, ya."
"Buat pegangan. Asal jangan buat pacaran."
Aku tahu dia menyindir ajakan Doni tadi. Dan yang bisa kulakukan hanyalah diam. Yonggi tidak akan menyalahkan Doni. Aku yang selalu salah di matanya. Tapi mengingat bagaimana sikap yang dia tunjukkan pada Kak Agnes dan Doni, jika dibandingkan denganku, mau tak mau hatiku terasa seperti diremas. Aku harus dipaksa mengingat segala alasannya, termasuk dia yang tidak sudi kupanggil 'Tomi'. Karena 'Tomi' terlalu suci untuk keluar dari bibirku.
***
Ini Tomi.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Reveal It (Repost)
General FictionHaiiiii yang baru buka cerita ini, selamat datang. Sebenarnya cerita ini sudah terbit, ready versi PDF juga. Tapi aku pengen repost biar yang belum sempat baca PDF atau buku, bisa baca gratis di sini. Jangan lupa vote dan komen, ya. Happy reading ♡ ...