Bab 4 - Usai

8 2 0
                                    

"Butuh beberapa tahun untuk aku mewujudkan rencana ini, namun hanya butuh beberapa detik untuk kamu menghancurkannya."

Bismillah

Selamat Membaca


🌻🌻🌻
"Kamu tuh kebiasaan banget. Aku nunggu hampir tiga jam di sana." Araya menyemburkan kekesalannya setelah Dion duduk di hadapannya.

Kali ini mereka sedang berada di kafe milik Dion. Setelah pertemuan kemarin yang batal gara-gara sifat Dion yang pelupa. Akhirnya Dion mengajak Araya untuk bertemu di kafenya.

Dion meringis, "Ya, maaf. Seriusan aku lupa. Aku malah terima tawaran Ario sama Dimas untuk nongkrong. Habis itu, aku baru ingat kita ada janji sama WO."

Ini yang Araya tidak suka dari Dion. Selalu mengentengkan sesuatu alhasil malah jadi lupa. "Aku gak pernah melarang kamu untuk nongkrong, Dion. Tapi, coba kamu bisa posisikan diri kamu. Kamu harus dewasa, kita ini mau nikah."

Dion merasa tersentil dengan kata-kata dewasa yang diucapkan Araya. Kenapa Araya jadi merembet ke sana. "Kamu yang harusnya dewasa. Masalah begini saja terlalu dibesarkan. Aku sudah bilang lupa, Araya. Lupa itu sifat alami manusia." Nada suara Dion mulai tak enak didengar, emosinya seperti diaduk-aduk.

Araya ikut terpancing dengan tanggapan Dion. Kebiasaan kedua yang Araya tidak suka dari Dion adalah selalu banyak alasan dan tidak mengakui kesalahan. "Terlalu dibesarkan? Oke, kalau kamu telat cuma satu jam bisa aku toleransi, lah ini sampe tiga jam. 3 jam Dion aku di sana. Bukan cuma aku, tapi umiku dan juga mamamu. Bahkan pihak WO sudah marah-marah karena kita menyia-nyiakan waktu mereka."

"Ya, harusnya WO itu professional dong. Apalagi kita kliennya. Mereka harus mau mengikuti kemauan kita. Lagipula kita udah bayar mahal-mahal," sanggah Dion yang masih tidak terima disalahkan. Lagipula ini bukan kesalahan dia sepenuhnya. Toh siapa  juga yang menginginkan lupa? Tidak ada, bukan.

Araya menggelengkan kepalanya. Kesal bahkan amarahnya sudah sampai di ubun-ubun mendengar pembelaan Dion. Bukannya merasa bersalah, justru menyalahkan pihak WO. "Profesional katamu? Kamu yang gak professional. Mereka itu bukan cuma ngurusin acara kita doang. Banyak acara yang harus mereka atur juga. Gimana jadinya kalau mereka membatalkan kerja sama dengan kita? gimana? Mau nyari ke mana lagi, sementara acara tinggal sebulan lagi,” ujar Araya. Kali ini nadanya sudah meninggi. Kesal karena Dion selalu saja mempunyai alasan untuk melakukan pembelaan.

"Gampang. Tinggal kita tunda acaranya," jawab Dion enteng. Menurutnya, Araya ini cara berfikir Araya terlalu ribet.

Araya membulatkan matanya. Ingin sekali rasanya merobek mulu Dion yang bicara seenaknya. "Tunda? Enteng sekali mulut kamu bilang," ucap Araya sinis.

Dion menanggapinya dengan santai. "Ya, entenglah Ay. Tinggal bilang tunda apa susahnya. Tun-da." Sekali lagi ucapan itu meluncur dengan mudahnya tanpa memikirkan bagaimana reaksi Araya. 

Dion benar-benar membuat Araya murka. "Argh. Ingin sekali aku jahit mulut kamu biar gak bisa bicara lagi,” murka Araya. Tidak ada gunanya debat kusir dengan Dion. Pria itu pasti akan memiliki sejuta alasan untuk membantah.

Mendengar ucapan Araya, Dion segera memegangi mulutnya. Ganas sekali rupanya calon istrinya ini. " Astagfirullah, Araya. Kamu kalau ngomong gak pakai bismillah. Emangnya kamu mau punya suami gak bisa bicara?”

Araya mencebikkan bibirnya kesal."Habisnya kamu bikin kesal mulu."

"Oke, oke aku minta maaf. Terus gimana pertemuan kemarin jadinya yang mana undangannya?" kata Dion mulai mengalihkan topik pembicaraan. Ia tak ingin masalah ini melebar. Dan tentunya tak ingin ide gila Araya terwujud.

Jodoh Terakhir Araya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang