Bab 7 - Musibah

4 1 0
                                    

"Menggerutu akan takdir hanya akan membuat dada semakin sesak. Membuat diri semakin tak rela akan setiap hal yang telah dilalui."

Bismillah..

Selamat Membaca ❤


🌸🌸🌸

Selepas adegan Tiana yang memukulnya dengan spatula itu, Araya tidak langsung pulang ke rumah. Dia akan membuat pelajaran kepada sahabatnya itu. Araya tidak akan meloloskan Tiana begitu saja. Minimal dia akan membuat otak Tiana sedikit geger alias amnesia. Oh tidak, itu hanyalah imajinasinya saja. Dia tidak akan setega itu.

Araya mengetukkan pulpen yang dipegangnya. Dia masih menatap tajam Tiana yang tengah melayani pembeli. Sementara Tiana dia pura-pura bertingkah profesional melayani pembeli. Sesekali mata Tiana melirik ke arah Araya. Tiana tersenyum manis kala melihat tatapan tajam sahabatnya sekaligus bosnya.

Sementara itu, jarum jam menunjukkan angka 6. Matahari di luar sudah tidak terlihat, itu artinya toko kue Araya akan segera tutup. Araya mendekat ke arah Tiana. "Tutup tokonya, Ana. Kau masih berhutang padaku. Kau tidak akan lolos kali ini, " ujar Araya tepat di hadapan Tiana yang tengah merapikan etalase kue.

"Aku tidak pernah berhutang padamu, Bu Bos." ujar Tiana polos pura-pura tak mengerti ke arah mana pembicaraan mereka.

Araya mengangkat alisnya sebelah, "yakin? Jangan berpura-pura polos. Kau tak cocok Nona Tiana."

Tiana tertawa berusaha meredakan ketegangan yang menyelimuti sekitarnya. "Hahaha. Mendadak amnesia gini. Gimana dong Ra?" kilah Tiana.

"Sudahlah, cepat Tiana. Ini sudah hampir maghrib. Karyawan lain sudah pulang. Sebagai balasan atas perbuatanmu, ijinkan aku menginap di rumahmu," kata Araya melihat keadaan toko kuenya yang sudah sepi. Mata Tiana menatap ke arah Araya seolah menanyakan kenapa dia menginap?

"Lo tau sendiri alasannya. Gue sedang malas menanggapi orang rumah," jawab Araya yang mengerti tatapan sahabatnya itu.

Tiana tak lagi menanggapi ucapan Araya. Dirinya sudah tau permasalahan apa yang membuat Araya menginap. Tiana segera mengambil tasnya lalu mengajak Araya keluar dari toko. Setelah semua pintu terkunci, Tiana menunggu Araya mengambil mobil.

Tiana naik ke dalam mobil Araya saat mobil itu berada di hadapannya. Araya segera melajukan mobilnya. Tak ada obrolan yang terjadi di dalamnya. Keduanya sama-sama sibuk dengan pemikirannya sendiri. Hingga terdengarlah bunyi suara yang sedikit mengaganggu pendengaran Araya.

Kriuk... kriukk...

Araya menahan tawanya ketika mendengar suara perut Tiana. Sementara Tiana mendengus kesal mendengar tawa Araya yang terkesan menyebalkan itu.

"Lapar, Na? Ngomong dong, jangan diam mulu," sindir Araya. Tiana hanya mencebikkan bibirnya kesal mendengar sindirian Araya.

"Ya maaf, abisnya tadi gue lagi dimata-matai. Jadinya gak sempet makan deh." Tiana membalas sindiran Araya. Siapa yang tak sebal dirinya terus diawasi Araya sepanjang hari ini. Belum lagi acara percurhatan yang tadi sangat menyita waktunya. Jadi, jangan salahkan Tiana di sini. Ini semua salah Araya yang mengganggu aktivitasnya sehingga membuat Tiana melupakan perutnya.

Araya hanya menggelengkan kepalanya sebagai respons atas protes yang dilayangkan sahabatnya. Mobil yang dikendarainya berhenti tepat di sebuah mini market. Sebenarnya dirinya ingin membeli makanan, tapi karena malas mengantri alhasil mini market menjadi solusi.

Araya turun terlebih dahulu meninggalkan Tiana. Sementara Tiana menyusul dengan wajah yang kesal. Memang Araya ini termasuk sahabat yang tidak mempunyai akhlak. Tega meninggalkan sahabatnya di mobil sendirian.

Jodoh Terakhir Araya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang