"Salah satu kegagalan seorang ayah adalah saat melihat anak perempuannya disakiti oleh laki-laki lain."
Bismillah.....
Selamat membaca😊
🌼🌼🌼
Seseorang tengah berdiri menghadap jendela besar. Matanya terlihat mencari sesuatu. Tangannya saling meremas. Raut wajahnya terlihat cemas. Ternyata, ia sedang menunggu seseorang. Ia mengkhawatirkan anaknya yang belum pulang.Beberapa kali, ia terlihat melakukan panggilan telepon. Namun, sayang hanya suara operator yang menjawabnya. Sementara di luar semesta sedang tidak bersahabat. Langit tengah menjalankan tugasnya. Suara petir terdengar menggelegar memekikkan telinga.
"Kamu dimana sih? Ayo angkat sayang," ujarnya lirih seraya mondar-mandir di depan jendela.
"Duduklah! Nanti juga ia akan pulang. Jangan cemas begitu." Seseorang memegang bahunya berusaha menenangkan wanita itu. Ia pun sama sedang dilanda cemas, namun berusaha menyembunyikannya.
Bukannya tenang, justru wanita itu terlihat semakin gelisah. Pasalnya, jarum jam sudah menunjukkan pukul 22:00. Siapa yang tak khawatir, anaknya jam 10 malam masih belum pulang. Terlebih lagi, anaknya itu seorang perempuan.
Di tengah kecemasannya, pintu terbuka lebar menampakkan seorang gadis. Gadis itu terlihat kacau. Bajunya sudah basah kuyup terkena air hujan. Matanya terlihat sembab bekas air mata. Tubuhnya terlihat menggigil. Wajahnya sudah pucat pasi karena kedinginan.
"Ya Allah Araya! kamu dari mana, Nak? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Umi Araya yang sedari tadi menunggunya. Ia segera menghampiri anaknya. Araya hanya menggelengkan kepalanya sebagai respons. Tangisnya kembali mendesak keluar. Melihat anaknya menangis, Umi Araya segera menarik tubuh anaknya ke dalam dekapannya.
Riana tak mengerti dengan semua ini, namun melihat keadaan Araya seperti itu hatinya ikut sakit. Sungguh hatinya sangat teriris melihat anak semata wayangnya kacau seperti ini. Padahal ketika berpamitan wajah anaknya terlihat sumringah. Umi Araya mengelus punggung anaknya agar tenang. Namun, bukan ketenangan yang didapat, justru tangis Araya semakin kencang.
"Ajak ke sofa, Mi. Biarkan dia tenang terlebih dahulu," kata Abi Araya. Riana membawa Araya ke sofa. Perlahan tangis Araya semakin tak terdengar. Namun, dadanya masih naik turun. Araya berusaha menenangkan dirinya. Ucapan istigfar samar-samar terdengar dari kedua bibir Araya yang memucat. Setelah melihat anaknya sedikit tenang, Riana kembali bertanya kepada Araya.
"Kamu kenapa, Nak? Cerita sama Umi. Ada apa?" Araya masih menunduk, meremas jarinya bingung harus menjawab apa pada kedua orang tuanya. Rasanya ia tak sanggup menyampaikan fakta bahwa pernikahannya harus batal. Ia tak tega melihat kekecewaan kedua orang tuanya. Ia tak sanggup harus memberikan aib bagi keluarganya.
"Di-on. Mem-batalkan-nya U-mi. Dion membatalkannya. Hiks... hiks--" Belum sempat kalimatnya tuntas, tangisnya pecah. Kalimat Dion tadi siang masih memutar, mengudara di pikirannya. Hatinya sesak, kala mengingat semua kenangannya bersama Dion.
Riana dan Abram terlihat bingung dengan ucapan Araya. Sementara= Araya yang melihat keduanya terdiam, segera memperjelas ucapannya.
"Pernikahannya batal. Dion membatalkannya. Apa salah Raya, Umi? Apa salah Raya?" desak Araya. Araya terus menyalahkan dirinya.
Riana kaget mendengar penuturan anaknya. Ia berharap telinganya salah mendengar. Sayang, telinganya tadi mendengar sempurna ucapan sang anak. Bahkan tangis anaknya terdengar jelas.
Cobaan apa lagi ini, Ya Allah. Kenapa harus seperti ini? batin Riana. Ia turut merasakan kesakitan yang dirasa anaknya.
"Kenapa semua ini terjadi sama Raya, Umi? Raya salah apa. Umi? Raya bikin aib bagi keluarga. Raya malu Umi. Raya... Raya...." suaranya terputus-putus. Ia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dadanya semakin sesak, tak kuat mengeluarkan kata kata apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Terakhir Araya
SpiritualUpdate satu minggu sekali, insyAllah. Perihal jodoh, kita tidak pernah tahu akan berjodoh dengan siapa. Sering kali, kita menduga seseorang itu jodoh kita. Namun nyatanya bukan. Itulah yang dirasakan Araya. 8 tahun menjalin hubungan dengan seseorang...