Jeno hampir yakin bahwa kemarin Mark menyetujui untuk menggunakan kekuatannya seperti keinginan Jeno. Tapi siang hari berikutnya Mark hampir tidak mengatakan apa-apa sambil memakan irisan ayam panggang dari kotak bekal Jeno.
"Aku hampir merasa bersalah pada ayam kalau saja rasanya tidak seenak itu," ucapnya sambil mengunyah irisan paha ayam. Mengabaikan raut masam Jeno yang menatapnya sebal.
Jeno masih menatap Mark tajam, memikirkan lantang di kepalanya soal keinginannya kemarin. Menunggu Mark menyahuti isi kepalanya seperti yang dilakukannya kemarin.
"Aku sudah lihat Mark, wajahnya ini bayi sekali ya? Tidak ada cocoknya dengan badannya yang tinggi dan lumayan berotot. Ada sesuatu yang menarik perhatianku, kamu mau dengar?" Mark lagi-lagi tersenyum miring. Nada yang digunakannya sangat terasa seperti rayuan. Jeno tau Mark mencoba mengalihkan pembicaraan dan ia merasa apa yang akan dikatakan Mark tidak seharusnya ia dengar. Tapi ia sedikit penasaran.
"Apa itu sesuatu yang bisa ku bantu?"
"Bisa juga ya, bisa juga tidak. Ini tentang hubungannya dengan pacarnya. Kamu mengenal Donghyuk juga kan?" Nada bicara Mark melirih. Jeno benar-benar merasakan racun pada tiap-tiap kalimatnya. Racun yang manis.
"Tidak perlu, urusan mereka biar mereka saja. Kalaupun ada masalah, aku yakin bukannya membantu, aku mungkin akan menambah masalah," Jeno berujar pelan sambil menopang pipinya menghadap Mark.
Mark terkekeh. "Asal tahu saja, kak Mark mu itu menyukai orang lain. Dan dalam dua malam ke depan, hubungan Mark dan Donghyuk akan selesai karena Donghyuk mulai yakin pada kecurigaannya soal perasaan pacarnya itu." Mark tertawa makin keras melihat reaksi Jeno yang isi pikirannya terlihat jelas di air mukanya.
Jeno yang awalnya sangat marah karena Mark malah membeberkan segalanya saat Jeno ingin tidak tahu, jadi berkeringat dingin saat ia sudah mencerna semua kalimatnya. Perasaannya sungguh campur aduk merespon kalimat yang baru saja di dengarnya.
Jeno merasa sangat buruk saat hal pertama yang ia pikirkan setelah mendengar rahasia itu adalah, apakah Donghyuk akan tetap mengajak kak Mark makan siang bersama mereka? Karena itu adalah satu-satunya kesempatan Jeno dalam sehari untuk dekat kak Mark meski sebagai pacarnya Donghyuk.
Setelah itu, baru pikiran pikiran lain menyahuti di kepala Jeno.
Kenapa kak Mark mengencani Donghyuk kalau bukan Donghyuk yang disukainya?
Apa kak Mark akan mengencani orang yang disukainya setelah putus dari Donghyuk?
Bagaimana kalau pacar baru kak Mark tidak sebaik Donghyuk? Rasanya Jeno tidak akan rela kalau kak Mark diperlakukan tidak sebaik Donghyuk memperlakukannya.
Bagaimana perasaan Donghyuk nanti?
"Jangan terlalu dipikirkan, temanmu itu lebih kuat dari perkiraanmu dan orang yang disukai Mark itu... lebih baik dari bayanganmu." Mark mengelus puncak kepala Jeno. Senyumnya terkesan menenangkan meski manik matanya yang gelap itu kosong.
"Kalau teman-temanku yang lain? Mereka baik saja kan?"
"Teman yang mana? Jaemin? Renjun? Yangyang?"
"Ya semuanya, atau siapa saja yang bisa aku bantu," seru Jeno tidak sabar. Ia was was kalau bel berbunyi sebelum mendengar apa yang ingin dia dengar.
"Tidak langsung pulang hari ini akan membantu dirimu sendiri," Mark memberi peringatan sambil memasukkan potongan ayam terakhir ke mulutnya.
"Ah, bukan membantu namanya kalau ke diri sendiri," gerutu Jeno kesal. Bel berbunyi segera setelah Jeno mengatakannya. Ia pun membereskan kotak makannya dengan dengusan sebal.
"Besok bawakan coklat ya Jeno," Mark masih sempat berpesan sambil melambaikan tangan pada Jeno yang berjalan menjauh sambil kakinya dihentak-hentak. Sengaja supaya Mark melihat.
Apakah Jeno menuruti kata-kata Mark? Sejujurnya Jeno penasaran. Apa yang akan terjadi kalau ia langsung pulang mengabaikan peringatan Mark. Jadi begitu bel pulang berbunyi siang itu, Jeno tidak bisa menahan diri dan mulai berjalan pulang. Berencana mampir membeli coklat memenuhi keinginan Mark.
Seharusnya begini tidak terhitung langsung pulang kan? Jeno kan mampir beli coklat dulu. Ia bernegosiasi dengan akal sehatnya sendiri. Aku tidak benar-benar melawan kata-kata Mark. Pikirnya membela diri.
Jeno jadi membeli beberapa permen yang menarik perhatiannya di toko jajanan. Ada permen labu, permen pai apel, permen bacon, dan beberapa permen yang lebih umum seperti coklat dan mint.
Jeno yakin ia menghabiskan banyak waktu di toko, tapi ketika ia keluar matahari belum bergeser banyak dari sebelum Jeno masuk. Rupanya hanya tujuh belas menit Jeno menghabiskan waktu di toko. Jeno menimbang sebelum melangkah pulang. Dadanya bergemuruh memikirkan kemungkinan kemungkinan yang bisa saja menimpanya.
Rupanya Jeno sudah terlampau percaya pada tiap kalimat Mark.
Masih dengan perasaan takut, Jeno memutuskan untuk pulang. Tiap langkahnya diambil debgan hati-hati dan was was. Mark hanya menyampaikan untuk tidak langsung pulang, dua puluh menit terlambat seharusnya sudah memenuhi syarat... kan?
Jeno menuruni tangga menuju kereta bawah tanah sambil matanya melihat sekeliling dengan waspada. Pelan-pelan mulai menyesal kenapa ia tidak menanyakan lebih detail kenapa Mark bilang ia harus pulang terlambat. Ia mulai memikirkan kemungkinan buruk. Lalu memasukkan ponsel dan dompetnya ke tas setelah membayar tiket. Mendekap tasnya di depan dada untuk menghindari pencopetan.
Jeno berdiri agak jauh dari rel kereta, mengawasi punggungnya untuk menghindari orang yang mungkin mendorongnya ke rel saat kereta akan lewat. Ia sungguh sungguh waspada pada setiap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi padanya. Tapi Jeno tidak bisa menghindari kereta yang penuh, jadi ia tetap naik meskipun sambil berdiri dan mendekap tasnya makin erat. Menggenggam resleting tas nya supaya tidak ada yang berani membuka tasnya.
Jeno mengamati orang disekelilingnya dengan waspada. Di sebelahnya adalah lelaki berusia sekitar awal dua puluhan dengan gitar di punggungnya, topi merah dan jaket jeans hijau army, rautnya kelihatan sangat lelah dan matanya nyaris tertutup meski belum dua menit kereta berjalan. Dibelakangnya adalah pria sekitar 30an dengan setelan jas seperti pegawai kantoran, wajahnya kelihatan ramah meski kantong matanya menghitam. Sedang didepan Jeno adalah pintu kereta dan di sebelah lainnya adalah palang besi dan mika transparan tebal yang membatasi tempat duduk dengan jalan masuk kereta.
Jika sesuatu terjadi, Jeno mungkin bisa meminta pertolongan pada om di belakangnya. Atau setidaknya mereka berdua bisa jadi saksi.
Tidak lama Jeno merasakan pantatnya menekan sesuatu, disusul dengan tangan yang meraba pantatnya. Punggungnya menegak kaku dan Jeno bisa merasakan seluruh tubuhnya melemas padahal genggamannya mengeras. Dari pantulan kaca pintu kereta yang samar, Jeno merasa melihat om yang tadi menggigit bibirnya sendiri dengan muka datar.
Apakah ini alasan Mark untuk menyuruhnya tidak langsung pulang?
Jeno ingin menangis karena menyesal dan ketakutan. Kemudian tangan yang meremas pantatnya itu terlepas. Dari kaca pintu Jeno melihat api merah di belakang punggungnya, sensasi sejuk yang nyaman memeluk punggungnya alih-alih panas. Jeno melirik ke sekitarnya memeriksa reaksi orang-orang karena tiba-tiba ada api di punggungnya. Tapi kakak di sampingnya masih terantuk-antuk dan penumpang lainnya masih tenang saja seolah tidak melihat apapun. Apakah tidak ada yang melihat api selain Jeno?
"M-mark?" Jeno menebak, tetapi suaranya malah keluar seperti cicitan.
Tidak ada yang membalas panggilan Jeno. Tapi saat ia sampai di stasiun tujuan dan kakinya masih lemas untuk sekedar melangkah keluar, Jeno merasakan sesuatu mendorongnya keluar dari belakang dengan dorongan lembut. Saat berbalik ia melihat om dengan kemeja kantoran tadi menatap padanya dengan iris gelap kosong yang ia kenali.
Mark.
1080+ words
Gimana Mark??
Sweet or freak????Buat chap depan, kalian mau lihat adegan penghukuman tangan nackal ga??
Kalau mau, boleh saran hukuman?Ini enak banget nulisnya soalnya no head thought empty haha!!
Makasih udah baca dan kasih komentar. 💙💛Yes, hyungnim!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lunch Mate • MarkNo
FanfictionJeno tidak sadar, tanpa sengaja ia telah memanggil 𝘔𝘢𝘳𝘬. 20210210