revelation

1.4K 238 57
                                    

Siang harinya pada jam makan siang Mark sudah lebih dulu di tempat makan siang mereka dengan makanan pesanan Jeno. Jeno dengan kacamatanya langsung mengenali kemasan camilan kesukaannya itu dari kejauhan. Dengan antusias segera berlari menuju camilan favoritnya.

Mark terkekeh melihat Jeno berlari antusias padanya. Rasanya senang mengetahui anak itu berlari padanya. Rasa bangga membuncah dalam dirinya hanya dengan fakta kecil itu.

"WAAHH! Jelly! Donat!" Jeno duduk dengan buru-buru. Tangannya ditahan di depan dada menunggu Mark mempersilahkannya makan.

"Makan ini dulu, baru makan camilan." Tiba-tiba saja Mark mengeluarkan kotak bekal dari balik punggungnya. Jeno menatapnya sangsi. "Aku menemui ibumu, memintakan ijin katanya kamu mau menginap lagi kan? Lalu ibumu menitipkan ini padaku," ucapnya menjelaskan.

"Eeeh, manis sekali sudah sampai bertemu ibunya yaa," anak baru yang diperkenalkan bu Nara tadi pagi tiba-tiba muncul di belakang Jeno. Apakah Jeno diikuti? Padahal sejak tadi Jeno tidak merasakan kehadiran siapapun di belakangnya.

Mark meletakkan bekal ibunya di hadapan Jeno, berdiri lalu berjalan ke arah si anak baru. Matanya yang gelap terasa berapi-api. "Kau sekarang terang-terangan mengabaikan perkataanku ya?" Nadanya dingin kontras dengan auranya yang membakar.

"Tidak, Lord! Aku hanya—"

Jeno sudah tidak mendengar perkataannya lagi. Tapi melihat anak baru itu masih membuka mulutnya seakan masih berbicara dan berlutut seolah memohon, Jeno menyimpulkan kalau hanya ia yang tidak bisa mendengar. Jeno membuka bekal ibunya dengan sedikit perasaan kesal karena merasa ditinggal. Kenapa Jeno tidak boleh ikut mendengarkan?

Jeno meraih tangan Mark yang berdiri tidak jauh darinya, meminta perhatian. "Nanti lagi saja mengobrolnya, ayo makan. Kamu juga, uh... Shotaro kan?" Daripada mereka berbicara tanpanya, bukankah sebaiknya mereka makan siang bersama saja?

Shotaro tersenyum miring menatap Mark yang memelototinya dengan nyalang. Menyambut ajakan Jeno dengan senang hati lalu duduk di samping Jeno. "Terima kasih memperbolehkanku bergabung, tuan muda," ucapnya dengan mata berbinar memandangi Jeno.

"T-tuan muda?" Jeno mengalihkan pandangannya pada Mark yang menyilangkan tangannya di depan dada.

"Hanya sampai anak itu tiba disini, Alastor. Setelahnya jangan gunakan anak itu lagi," Mark memperingatkan sambil mendesah pelan. Lalu duduk kembali di sebelah Jeno.

"Kamu bukan Shotaro? Apakah kamu... um... seperti Mark?"

"Mark? Oh! Aku adalah pesuruhnya, pelaksana semua kata-katanya. Aku Alastor, dan kamu benar tentang aku bukan Shotaro. Shotaro yang asli akan masuk sekolah dua hari lagi."

"Kamu punya nama? Kenapa Mark tidak punya?"

"Tuan bilang padamu begitu? Ya, tidak salah juga sih. Biasanya manusia yang memanggil kami lah yang memberi nama pada kami. Satan, Pangeran, Pangeran Cahaya, Tuhan, Iblis, Pangeran iblis, Tuan, kami memiliki nama yang berbeda di tanah yang berbeda. Tapi Tuan memiliki nama di samping semua sebutannya—"

"Alastor cukup. Bel akan berbunyi jika kalian tidak segera makan." Sekali lagi Jeno merasa nada dingin itu kontras dengan api yang menyala di mata Mark. Tapi Shotaro, atau Alastor diam dengan ultimatum Mark.

Jeno menaruh sepertiga bekalnya pada tutup kotaknya. Mendorongnya ke hadapan Shotaro dan mempersilakannya. Sementara sisa bekalnya diletakkan di antara dirinya sendiri dan Mark. Alastor menikmati bekalnya dengan khidmat sementara Mark dengan sikap jengkel mengabaikan Alastor.

Jeno jadi ikut merasa jengkel melihat sikap Mark. Ia merasa seolah Mark hanya menutupi identitasnya dari Jeno saja. Tapi Jeno hanya menelan kekecewaannya. Bukan hanya satu atau dua kali ia tidak dianggap karena orang memandangnya sebagai anak kecil, atau bahkan menganggapnya tidak dewasa. Jaemin pun begitu. Sikap overprotektif nya sering membuat Jeno merasa kesal, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan sikap Jaemin.

Lunch Mate • MarkNoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang