⚠️WAJIB BACA⚠️
⚠️TRIGGER WARNING⚠️CHAPTER INI BERISI ADEGAN KEKERASAN KEJAM DENGAN PERTUMPAHAN DARAH (GORE)
SANGAT TIDAK DISARANKAN UNTUK PEMBACA DI BAWAH UMUR.READ WITH YOUR OWN RISK.
"Ini rumah siapa?" Jeno bertanya sambil mengikuti langkah Mark membuka gerbang sebuah mansion. Tidak menghiraukan pertanyaan Jeno, Mark menarik bocah itu masuk.
Jeno tidak sempat mengamati detail eksterior mansion, tapi bagian dalamnya cukup kosong dibanding apa yang terlihat di luar. Hanya ada dua buah sofa panjang yang menyapa setelah mereka melewati pintu masuk. Mark masih menarik tangannya melewati ruangan ruangan lain yang tampak kosong. Sampai Jeno melihat selusin pintu transparan yang memperlihatkan taman dengan lampu lampu temaram. Jeno cukup yakin taman itu beralas rumput meski gelap diluar sana.
Mark membuka sebuah pintu yang bersikuan dengan pintu transparan tadi, menggesturkan pada Jeno untuk masuk lebih dulu. Jeno mengintip dan ternyata ruangan itu bersih dan layak dengan perabot yang lebih lengkap. Bahkan Jeno melihat seperangkat konsol game terbaru di bawah televisi.
"Uwaahh!! Apa kita sungguhan boleh menginap disini? Ini rumah siapa? Bukan punyamu kan? Memangnya kamu punya rumah?" Kontras dengan pertanyaan curiganya, Jeno sudah meletakkan tas nya dan duduk bersila di depan televisi sambil mengamati konsol game. Tangannya memang belum menyentuh apa-apa, tapi matanya sudah berbinar-binar seolah sudah menyentuh-nyentuh konsol game dalam bayangannya.
Mark tersenyum mengamati Jeno yang masih takjub. "Boleh, semua yang ada disini boleh kamu gunakan. Tapi jangan sampai lupa waktu ya," ujar Mark lembut. Jeno yang mendengarnya menggerutu karena Mark terdengar seperti ibunya.
Apa itu juga berarti jam malam ibunya berlaku disini? Jeno menghela nafas kecewa dan Mark harus mengulum bibirnya menahan senyum.
"Mandi dulu, nanti aku temani main. Sikat gigi di rak sebelah cermin pakai saja, handuknya ada di rak atasnya. Pakaian gantinya ambil saja di lemari, pilih yang kamu suka." Mark menarik Jeno berdiri dari posisi bersilanya. "Aku pergi dulu sebentar," pamitnya sambil mengusak puncak kepala Jeno. Lalu ia keluar.
Jeno menghela nafas segera setelah Mark keluar melalui pintu. Aneh sekali melihat Mark hilang di balik pintu padahal biasanya hilang begitu saja seperti menjadi udara. Suasana jadi terasa terlampau sepi setelah Mark pergi.
Jeno mengenyahkan pikirannya tentang Mark, lalu melangkah ke kamar mandi. Semakin cepat ia selesai mandi, semakin segera juga ia akan memainkan konsol game.
Sementara itu Mark kembali pada pria yang sore tadi mencoba menodai Jeno. Menyaksikan dalam kegelapan bagaimana si brengsek sedang dikeroyok tiga orang wanita. Sementara seorang wanita lainnya bersandar pada tembok tidak jauh dari mereka, memandang rendah pada si pria yang sudah terkulai tidak bertenaga.
"Sampah, nekat sekali ya coba-coba menipuku?" Wanita itu mendekati si brengsek, lalu menginjak kepalanya dengan heelsnya. "Kamu gak dengar rumor yang tersebar tentangku? Kamu gak peduli kalau kehilangan salah satu anggota tubuhmu setelah berurusan denganku?" Nadanya dingin, tapi kekesalan tidak bisa disembunyikan dari nada suaranya.
Wanita itu mengeluarkan sebuah pisau kecil dari sakunya, menginstruksikan kepada bodyguardnya untuk memegangi si brengsek.
Apa bagian serunya baru akan dimulai?
Mark mengambil alih tubuh si brengsek hanya untuk memaksanya sadar. Pestanya tidak akan asik kalau pemilik pestanya tidak hadir kan?
"Apa yang ingin kamu potong dariku? Memang pisau kecil itu bisa melakukan apa?" Mark berbicara melalui mulut si brengsek. Matanya tidak bisa dibuka karena pendarahan, tapi akan semakin menyenangkan kalau mereka tau si brengsek masih bisa menghina mereka.
"Pisau ini? Jangan khawatirkan pisauku, aku sedang melatih teknik baru untuk memotong daging. Kamu akan merasakannya sebentar lagi, buah latihanku," ucapnya dingin sambil mulai memindai tubuh si brengsek dari atas ke bawah dan ke atas lagi.
"Apa yang harus ku lepas darimu ya? Apa yang paling kamu suka dari tubuhmu? Matamu? Tanganmu?" Mark berfikir selagi wanita itu masih memindai tubuh si brengsek. Lalu dengan sengaja merapatkan kaki si brengsek untuk memberi petunjuk.
"Ah, itu yang paling kamu banggakan?" Dengan satu tarikan pisau wanita itu mengoyak celana si brengsek dari bagian depan. Menggenggam penis si brengsek di tangan seolah menimang-nimang. "Apa boleh buat, kamu kan juga harus merugi." Suaranya mengalun manja, tapi pisaunya menggores penisnya dari pangkal. Tidak langsung memotongnya karena pisau kecil itu tidak begitu tajam.
Mark tersenyum miring saat si brengsek berteriak tanpa suara karena suaranya bahkan tidak bisa keluar. Tiga orang wanita yang memeganginya bahkan tidak berpindah sedikitpun dengan gerakan si brengsek yang memberontak dengan liar.
Semakin memberontak, pisau itu memotong di bawah dengan tidak rata. Goresan lama di tinggalkan dan bergeser membuat goresan baru untuk memotong penis itu melintang. Darah sudah terciprat kemana-mana tapi wanita itu seolah tidak akan berhenti sampai benar-benar terpotong. Pisau itu masih di gerakkannya untuk membelah, memutus objek dalam genggaman wanita itu dari si brengsek.
Wanita itu memasukkan potongan penisnya ke dalam kantong kemeja si brengsek setelah objek itu terlepas dari badannya. Dengan gestur minim memerintahkan bodyguardnya untuk melepas si brengsek yang langsung terkulai di tanah dengan erangan tertahan.
"Kubiarkan kamu hidup supaya yang lain sadar untuk tidak bermain-main denganku." Lalu wanita itu menjauh dengan tiga bodyguardnya mengikuti di sisinya.
Mark terkekeh. Manusia memang tidak mengecewakan.
Dengan kekuatannya Mark mengambil alih dan memindahkan si brengsek ke sebuah tempat yang dikenali si brengsek sebagai rumah. Ia bergerak cepat mengambil sendok. Setahunya manusia bisa mati dengan cepat jika darah keluar banyak dari tubuhnya. Maka Mark bergegas membakar sendok itu dengan kekuatannya dan menempelkannya ke ujung kemaluan yang tersisa sedikit. Membakar lukanya supaya darah berhenti mengalir. Membangunkan si brengsek di tengah kegiatannya sebagai upaya untuk menghukumnya dengan tangannya sendiri.
Mark baru menyadari bahwa perkataan Jeno benar. Si brengsek tidak seharusnya mati dengan mudah. Biarkan saja si brengsek menjalani hidup, yang lebih mengerikan dari kematian. Manusia pada dasarnya tidak takut mati, tapi takut hidup menderita.
Si brengsek sudah tertidur dengan wajah basah dari airmata dan keringat, sudah tidak sanggup menoleransi rasa sakit hingga kesadarannya hilang. Nafasnya tidak stabil, tapi setidaknya si brengsek masih bernafas. Apakah ini cukup?
Mark tidak bisa memutuskan, tapi ia sudah merasa lebih lega setelah menghukum si brengsek sedikit. Egonya sudah pulih karena bisa menghukum manusia yang berani menodai Jeno. Mark bisa membela Jeno dan menghukum manusia yang menyakitinya.
Untuk sekarang mungkin cukup, ia akan kembali lagi kapan-kapan untuk melihat apa lagi yang bisa ia lakukan untuk menghancurkan si brengsek.
Jadi Mark kembali, berniat memenuhi janjinya untuk bermain bersama Jeno hanya untuk mendapati bocah itu tertidur dengan posisi meringkuk di depan televisi. Tegulung dalam selimut hingga kepalanya saja yang menyembul dari ujung selimut.
Senyum kecil yang tidak bisa ditahan muncul di ujung bibirnya. Mark memindahkan bocah itu ke ranjang dengan kekuatannya sebelum duduk di sisinya. Mengamatinya tidur dan mengusapi kepalanya.
Sleep tight boy, i won't let anything disturb you.
1100+ words
Terinspirasi dari manusia.
Sering kali, memang kelakuan manusia itu lebih biadab dibanding.........
Itu dia spoilernya buat identitas Mark hahahaWow, aku gatau apakah kelihatan, tapi aku memasukkan lumayan banyak effort untuk nulis adegan kekerasan
THAT WAS MY FIRST 😭
CONGRATS TO ME!!See you, until i have more things to write on this story
Yes, hyungnim!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lunch Mate • MarkNo
FanfictionJeno tidak sadar, tanpa sengaja ia telah memanggil 𝘔𝘢𝘳𝘬. 20210210