Cerita ini aku re-publish tanpa ada perubahan, tapiii di versi cetak ada banyak perubahan.
Jadiii, yuk mulai nabung🥰
Jeslyn POV
"Saya nggak pesen kelapa muda, Pak."
"A-anu, Mba. Kata pelayannya ini bonus."
Wajahku berubah menjadi datar. Satu buah kelapa muda untuh di tangan pengemudi ojek online itu belum aku terima. "Kelapa mudanya untuk bapak saja," ucapku yang akhirnya hanya menerima plastik berisi pesanan yang benar-benar kupesan. "Saya juga nggak bisa bukanya, Pak."
"Ini sudah dibuka, Mba."
"Nggak apa-apa, buat Bapak aja," ucapku yang yang langsung menutup pintu setelah mengucapkan terima kasih kepada bapak Ojol berjaket hijau.
"Spesial buat Jeslyn Adinda. Kelapa muda untuk melepas dahaga dan menemani makan siang."
Aku menghela napas. Dengan cepat menggelengkan kepala dan beranjak menuju meja makan. "Udah, Lyn. Jangan diinget lagi!" Mantra andalanku selama setahun ini kembali terucap. "Sekarang waktunya kita makan. Jangan pikirin pemilik restorannya."
Sepaket makanan Sunda sudah tertata rapi di meja makan. Nasi liwet, tempe goreng, pepes tahu, ayam goreng lengkuas serta sambal. Semuanya aku pesan melalui aplikasi ojek online pada sebuah restoran yang sebelumnya selalu memberikan makanan gratis untukku. Dahulu, sebelum aku dan pemiliknya memilih untuk mengakhiri hubungan.
"Oke Jeslyn! Abaikan pemilik restonya, mari kita menikmati pepes tahu yang luar biasa ini!" Mantra berikutnya aku ucapkan untuk menarik napsu makanku yang hampir saja pergi.
Nasi liwet dan lauk pauk di meja langsung kulahap. Satu suapan, dua suapan, lalu mengunyahnya dengan Bahagia. Aku sangat menikmati makan siang yang terlalu sore. Pasien hari ini sangat ramai, membuatku kehilangan waktu makan siang. Dari rumah sakit lanjut praktik ke klinik, benar-benar sibuk. Jadi, biarkan sekarang kuberikan pelayanan terbaik pada lambung.
Suara bel apartemen yang berbunyi membuat kenikmatan makan siang ini terganggu hingga aku harus beranjak dari kursi makan dan menuju pintu utama.
"Sebentar ...," kataku saat belnya kembali berbunyi. Tak ada waktu untuk melihat layar intercom di ruang keluarga. Tamu di depan sana berkali-kali membunyikan bel apartemenku.
"Jesseee." Wanita paruh baya dengan senyum tertarik hingga pipi langsung menjadi objek utama di depan pintu. Aku mengenalnya, sangat mengenalnya. "Mama ganggu ya?"
Tanpa bisa kukendalikan kepala ini menggeleng. Bahkan dengan sendirinya pintu kubuka lebih lebar. Menyambut wanita dengan dress di bawah lutut itu untuk masuk.
"Kamu lagi makan?"
"Iya, Ma," jawabku yang akhirnya bisa mengeluarkan suara.
"Akta yang mengirim ya?" tebaknya yang kini sudah duduk di ruang makan. "Ternyata kamu nggak lagi berantem sama Akta."
Aku hanya tersenyum. Tak berminat untuk mengoreksi dugaan Mama. "Duduk, Ma," kataku setelah mengambilkan air mineral. "Mau makan bareng sama Jesse?"
Wanita yang kupanggil Mama itu dengan tenang menggelang. "Apa Akta udah bilang ke kamu? Ck! Pasti anak itu belum bilang." Mama langsung mengetahui jawabannya saat melihat ekspresiku yang kebingungan.
Bagaimana bisa memberi tahu, aku bahkan sudah tak lagi memiliki kontak putra bungsunya.
"Besok Bhumi lamaran, kamu bisa datang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]
General Fiction10 tahun menjalin hubungan tentu saja bukan waktu yang singkat. Sudah ada tempat tersendiri untuk kisah khusus dengan orang tersebut. Hingga saat sang pemeran utama terpakasa pergi karena sudah tak lagi menjadi pasangan, tentu saja ruangan itu masih...